:
Oleh Baheramsyah, Jumat, 7 Oktober 2016 | 06:00 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 984
Jakarta,InfoPublik - Sebanyak 61 pengusaha ikan yang tergabung dalam Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru (P3MB) meminta pemerintah mencari jalan tengah untuk menyelesaikan polemik yang terjadi atas kebijakan Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang dianggap seenaknya menaikkan uang sewa sampai 560 persen.
Karena Dengan kenaikan tarif sewa tersebut, pengusaha harus membayar biaya sebesar Rp1.558 miliar per hektare per tahun dari tarif sebelumnya yang mencapai Rp236 juta per ha per tahun. Kenaikan tersebut, dirasa sangat mencekik para pengusaha di Muara Baru.
"Kenaikan sepihak ini jelas akan berpengaruh besar dari hulu sampai hilir. Jelas semua sektor terkena imbasnya dan akan membuka peluang pengangguran baru yang jumlahnya ribuan bahkan puluhan ribu orang," jelas Ketua P3MB Tachmid Widiasto Pusoro di Jakarta, Kamis (6/10).
Para pengusaha menyadari kenaikan diperlukan untuk meningkatkan fasilitas yang ada, namun perlu ada diskusi dua pihak, sehingga tidak merugikan pihak pengusaha dan nelayan. P3MB berharap kenaikan tidak lebih dari 20 persen, sehingga nantinya kenaikan berbagai biaya di sektor terkait masih rasional dan tidak memberatkan masyarakat sebagai konsumen.
"Beberapa tahun terakhir hasil tangkapan kami berkurang karena kebijakan pemerintah. Mulai dari moratorium kapal asing sampai transhipment. Kami ikuti dengan baik, namun jangan juga kami dibebankan biaya sewa yang mahal, ini jelas membunuh kami pelan-pelan," tambahnya.
Tachmid mengatakan, PT Perum Perikanan Indonesia (Perindo), BUMN yang menjadi pemilik lahan di Muara Baru, memberi batasan sewa lahan maksimal selama lima tahun saja. Batasan itu jauh dari perjanjian sebelumnya yang membolehkan sewa lahan maksimal sampai 20 tahun.
Bagi para pengusaha yang mendirikan 61 perusahaan dan mengoperasikan 1.600 kapal di Muara Baru, menilai pembatasan sewa lahan tersebut sangat tidak masuk akal. Karena, jika melihat pada konsep bisnis, jangka waktu selama lima tahun bukanlah jangka waktu yang ideal untuk membuat usaha.
Belum juga selesai persoalan kenaikan tarif sewa lahan, Tachmid mengungkapkan, dalam waktu bersamaan pihaknya menerima kabar baru lagi dari Perindo yang mengabarkan kenaikan tarif sewa tambat labuh bagi kapal-kapal yang ada di Muara Baru. Kenaikan itu, dihitung menjadi per 10 hari atau kapal harus membayar biaya sewa per 10 hari.
Tachmid menjelaskan, dampak terburuk bagi para pengusaha adalah tak sanggup lagi menanggung beban operasi yang naik berlipat-lipat dan akhirnya gulung tikar. Jika hal itu terjadi, puluhan ribu orang terancam kehilangan pekerjaan. "Di pelabuhan Muara Baru ini kami mempekerjakan delapan ribu dari 52 perusahaan. Belum lagi unit usaha lain yang terkait. Total lebih dari 50 ribu orang menggantungkan hidupnya dari aktivitas di pelabuhan Muara Baru ini," kata dia.
Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN) James Then menjelaskan, para ABK biasanya mendapat honorarium rerata sebesar Rp100 ribu per hari. Dari data yang ada, kata dia, jumlah ABK saat ini mencapai 32 ribu orang. Itu artinya, para ABK tidak akan mendapatkan bayaran selama sebulan.
“Ini sudah kami bicarakan bersama. Para ABK tersebut memang yang paling merana. Tapi mau bagaimana lagi, karena kami juga sedang memperjuangkan nasib kami sendiri. Kami saja terancam tidak bisa melanjutkan usaha,” tutur dia.
Selain pekerja lepas seperti ABK, James menyebut, masih ada juga pekerja tetap yang jumlahnya sekitar 10 ribu orang. Namun, untuk pekerja tetap, perusahaan tetap akan membayar mereka karena dihitung per bulan.
Untuk kerugian, baik James dan Tachmid tidak berani menyebut secara rinci. Namun, dua orang tersebut menyebut bahwa omset Muara Baru setiap bulan dari industri pengolahan mencapai angka USD50 juta atau ekuivalen Rp650 miliar.
“Jumlah tersebut belum termasuk dari pemasukan hasil perikanan tangkap dari kapal-kapal. Jumlahnya sangat bervariasi dan tidak bisa disebut angkanya. Jadi, tentu saja kami mengalami kerugian sangat besar,” ungkap dia.