:
Oleh Baheramsyah, Senin, 26 September 2016 | 07:50 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 1K
Jakarta, InfoPublik - Kesejahteraan petani di Indonesia masih jauh dari api panggang. Walau Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang diperingati sebagai Hari Tani Nasional sudah terbentuk lama, namun hal itu belum juga mengubah nasib petani.
Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai hingga kini nasib petani Indonesia tidak kunjung membaik. Kemiskinan di pedesaan semakin meluas karena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin parah.
"Banyak petani yang tidak memiliki tanah dan petani gurem. Selain itu banyak juga terjadi konversi lahan dari fungsi pertanian ke fungsi lain seperti penanaman tanaman industri oleh korporasi. Sebagain besar tanah dikuasai industri," ujar Dewi di Jakarta, Minggu (25/9).
Dewi menjelaskan, ketimpangan kepemilikan tanah terjadi karena pelaksanaan reforma agraria tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan catatan KPA, terdapat sekitar 28 juta petani yang statusnya tidak memiliki tanah.
Presiden Joko Widodo menjanjikan pelaksanaan reforma agraria melalui Nawacita dan RPJMN 2015-2019 melalui pelaksanaan kebijakan redistribusi tanah dan legalisasi aset 9 juta hektar bagi petani.
Namun Dewi menilai kebijakan tersebut tidak berjalan sebab pelaksanaanya hanya sebatas pada pemberian sertifikat tanah tanpa disertai kelanjutan program pendukung pertanian, seperti pembangunan infrastruktur, pengadaan pupuk dan benih secara mandiri, serta pengelolaan lahan mulai dari masa pra hingga pasca-produksi.
"Reforma agraria itu suatu proses yang panjang harus ada perubahan tata kuasa, tata milik, tata guna dan tata produksi sehingga tidak cukup hanya sertifikasi. Harus ada program penunjang," kata Dewi.
Dalam praktiknya pun ada ketidakjelasan antara subjek penerima sertifikat tanah dan objek tanah yang dijanjikan.
Kata Dewi, masih ditemukan kasus petani yang tidak menerima sertifikasi tanah dan pemerintah juga tidak bisa menunjukkan lokasi 9 juta hektar lahan tersebut.
Di sisi lain, banyak kebijakan investasi pemerintah yang tidak sejalan dengan reforma agraria seperti investasi pertambangan, perkebunan tanaman industri seperti sawit dan impor pangan.
Dengan adanya investasi pertambangan dan perkebunan tanaman industri, maka pihak investor akan mencoba mengambilalih lahan pertanian yang belum ataupun sudah disertifikasi.
"Banyak sertifikasi yang tidak jatuh ke tangan petani kecil. Prosesnya tidak jelas. Di sisi lain kebijakan pemerintah banyak yang tidak pro terhadap petani kecil," ungkapnya.
Dewi juga menilai ketiadaan lembaga pelaksana reforma agraria yang dipimpin langsung oleh Presiden menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki kemauan menjalankan reforma agraria yang menyeluruh.