:
Oleh Masfardi, Kamis, 12 Mei 2016 | 14:04 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 424
Jakarta, InfoPublik - Tingginya harga hasil pertanian di pasaran tidak dinikmati oleh petani, sebab keuntungan lebih banyak dinikmati para pedagang yang ikut bermain dalam mekanisme pasar.
“Tingkat pendidikan petani sangat rendah, dimana 80 persen mereka hanya berpendidikan SD. Tapi, meskipun ada sarjana petanian, kalau sistem pertanian tidak berubah, mana ada sarjana yang mau bertani,” kata Anggota Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi di Jakarta, Kamis (12/5).
Dia mengungkapkan, dibanding petani negara tetangga, seperti Thailand dan Australia, sangat berbeda. Mereka jauh lebih siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kalau kondisi saat ini, Indonesia hanya menjadi pasar bagi mereka, sebagai pengimpor beras dan daging sapi.
Petani kita, katanya, tidak bersemangat untuk bertani, karena tidak memberikan untung. Berbeda dengan petani di negara maju seperti Australia, Amerika Serikat atau kebanyakan negara Eropa, pemerintahnya mensubsidi pertanian lalu hasilnya dibeli dengan harga tinggi.
Selain itu, agar petani mereka benar-benar terlindungi oleh serbuan produk dari negara lain, mereka mengenakan tarif yang tinggi untuk produk impor. Kemudian, menjamin betul produk petani dibeli dengan harga tinggi, sehingga petani untung.
"Kalau pemerintah tidak membenahi sistem pertanian dalam negeri, dalam waktu lima tahun ke depan kita akan menjadi negara net importing pangan," tandasnya.