Subak, Kearifan Lokal Menjaga Alam dan Budaya

:


Oleh Elvira, Kamis, 3 November 2022 | 19:54 WIB - Redaktur: Elvira - 628


Jakarta, InfoPublik - Kesan takjub tersirat dari wajah para delegasi G20 yang tengah mengunjungi Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, pada penghujung September 2022. Dalam kunjungan tersebut, rombongan diajak menyusuri hamparan sawah berpadi nan menguning. 

Pada kesempatan itu, mereka sekaligus diperkenalkan dengan pola irigasi khas Bali, yang dikenal dengan nama Subak. Adalah Wakil Menteri Pertanian Amerika Serikat Jewel H Bronough yang mengungkapkan kekagumannya terhadap Subak. Sistem irigasi tersebut dianggapnya mampu memberikan hasil yang lebih baik, dan terpenting mampu menekan efek pemanasan global.

Tak heran jika kemudian dia pun berharap Subak dapat diadopsi di sebagian besar negara di dunia, guna menjaga kelestarian lingkungan dan alam. Sebagai kearifan lokal Indonesia tentang praktik pertanian berkelanjutan, dengan sistem climate smart agriculture (CSA), yang menjadi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, subak juga telah diakui dunia. 

Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan sistem subak di Bali sebagai warisan budaya dunia (WBD) pada 2012. Di mana kawasan WBD itu berada di lima wilayah kabupaten yaitu Bangli, Gianyar, Tabanan, Buleleng, dan Badung. Luas kawasan itu berada lebih dari 19.500 hektare dan Jatiluwih yang merupakan kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Tabanan, kerap disebut ikon subak. 

Subak sendiri diketahui berpegang pada filosofi "Paras-paros sarpa naya selulung subayan taka", yang memiliki arti ‘saling memberi dan menerima/berat sama dipikul ringan sama dijinjing’ mengutamakan semangat gotong royong dalam pengelolaannya. Filosofi lain yang juga jadi pedoman subak adalah tri hita karana atau ‘tiga penyebab kebahagiaan’ yaitu Tuhan, manusia, dan alamnya. Jadi sistem pengaturan irigasi Subak yang sudah dipraktikkan sejak abad XI itu senantiasa menempatkan jati diri masyarakat Bali yang mengutamakan harmonisasi antara Tuhan, manusia, dan alam.

Dalam Perda Provinsi Bali nomor 9 tahun 2012 tentang Subak mendefinisikan bahwa sistem irigasi pertanian itu merupakan sebuah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan/atau tata tanaman di tingkat usaha tani. Khusus, di masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religious, ekonomis, yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. 

Biasanya, setiap subak memiliki lima pura yang dinamakan Pura Ulun Carik atau Pura Bedugul. Pura tersebut dibangun khusus oleh para petani yang diperuntukkan bagi Dewi Kemakmuran dan Kesuburan Dewi Sri. Begitulah yang ditulis dalam Jurnal Perhotelan dan Pariwisata Volume 7 Nomor 2, Juli—Desember 2017, yang ditulis I Nyoman Jamin Ariana, dkk.

Jika umumnya subak hanya mengambil satu titik sumber air atau disebut one inlet system. Tapi berbeda halnya dengan subak Jatiluwih, yang menggunakan lebih dari satu sumber air untuk mengairi seluruh area persawahan yang terdiri dari beberapa tempek atau sub subak. Sumber air subak di Desa Jatiluwih berasal dari Danau Tamblingan yang merembes dari resapan Gunung Batukaru yang menimbulkan sumber air lain, yaitu Sungai Yeh Hoo, Yeh Bat, dan Yeh Pusut. Sumber air lain subak Jatiluwih juga ditemukan di setiap persawahan, seperti di Pura Bhet Gedong dan Pura Candi Kuning.

Desa Jatiluwih berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Terletak di kaki Gunung Batukaru, yang merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Dewata, setelah Gunung Agung. Desa Jatiluwih berjarak sekitar 50 kilometer dari Kota Denpasar, atau memerlukan waktu tempuh sekitar 1,5 jam.

Data Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan mencatat, luas areal persawahan berundak di Jatiluwih paling luas di seluruh Bali, yaitu lebih dari 50.000 hektare. Subak Jatiluwih terdiri dari tujuh subsubak/tempek dengan dua karakteristik, yaitu subak basah dan subak kering. Subak basah dapat dijumpai di subsubak/tempek Besi Kalung, Gunungsari, Kedamean, Kesambi, Uma Kayu, Uma Duwi, dan Telabah Gede. Sementara subak kering terdapat pada subak Abian Jatiluwih dan subak Abian Gunungsari. Ada pula subsubak/tempek yang memiliki dua karakteristik sekaligus, yaitu, tempek subak Kesambi dan Gunungsari.

Dari karakteristik itulah subak Jatiluwih menerapkan sistem tanam berdasarkan musim yang disebut dengan “kerta masa.” Sistem ini menggunakan pola tanam sejajar dengan pola pengairan berundak atau terasiring. 

Pada subak basah, petani menanam padi secara bergiliran. Januari menanam padi beras merah dan dipanen pada Juni. Sedangkan pada Juli hingga November, petani akan menanam dan memanen padi beras putih. Beras merah ini menjadi ciri khas produksi pertanian subak Jatiluwih.

Keselarasan dengan Alam

Keselarasan dengan alam juga ditemukan dalam mitos yang masih dipercaya masyarakat Desa Jatiluwih. Dalam hal aturan subak, masyarakat dilarang membajak sawah pada hari-hari keagamaan, seperti saat purnama dan tilem (rainan/hari suci menurut keyakinan umat Hindu Bali). Masyarakat juga dilarang membajak sawah pada Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Nyepi, termasuk hari lahir pemilik subak (hari otonan).

Pada saat proses panen, masyarakat juga memercayai larangan bagi suami istri untuk menunggu hasil panen secara bersama-sama. Bagi pemilik subak, mereka dilarang memulai penanaman benih padi sebelum tempek Telabah Gede. Masyarakat meyakini, jika hal itu dilanggar akan mengakibatkan gagal panen.

Panorama persawahan berundak atau terasiring di Desa Jatiluwih telah diakui badan PBB UNESCO sebagai warisan budaya pada 2012. Pengakuan ini menjadi hadiah bagi masyarakat Desa Jatiluwih atas kebajikan (darma) yang sudah dilakukan sejak 1993 dengan menetapkan area persawahan subak sebagai desa wisata. 

Jauh sebelum itu, tepatnya Agustus 1975, pakar adat dan agama kanwil Departemen Agama Provinsi Bali I Gusti Ketut Kaler mencetuskan gagasan untuk melestarikan lembaga adat subak sebagai warisan luhur bangsa. 

Dari catatan di museum Subak diperoleh informasi bahwa sistem pengaturan irigasi pada masyarakat Bali itu dilakukan para petani yang tergabung dalam lembaga tradisional subak. Kemudian dalam perkembangannya, subak berperan dalam meningkatkan produksi pangan dan pelestarian lingkungan, termasuk sumber air.

Penyuluh Pertanian Ahli Pertama I Gede Vibhuti Kumarananda dalam Asal Mula Sistem Subak di Bali menyebutkan, kegiatan pertanian sudah ada di Bali sekitar 882 M. Ini ditandai dengan kata ‘huma’ dalam prasasti tertua di Bali, yaitu Prasasti Sukawana A1(Purwita, 1993), yang menunjukkan bahwa sistem irigasi di Bali sudah diterapkan oleh petani sejak lebih dari seribu tahun silam.   

Jika mengacu pada Prasasti Pandak Badung tahun 1071 M kata ‘subak’ muncul lewat kata “Kasuwakan” yang kemudian menjadi “Kasubakan”. Pada Prasasti Klungkung tahun 1072 M nama ‘subak’ disebut di dalamnya, yaitu ‘Subak Rawas’.

Kata “Kasuwakan” yang berarti daerah subak juga ditemukan pada beberapa prasasti lain, Prasasti Trunyan (881 M), Prasasti Sukawana (882 M), Prasasti Bebetin A (896 M), Prasasti Buwahan, Timpag, dan Bugbug. Kata Subak juga ditemukan dalam naskah lontar Bali Kawit Babad Hindu Wenten Ring Bali, yaitu ‘Sang mikukuhang sawah kewastanin subak, sang mikukuhang toya kewastanin pekaseh, ika mawenang mangepah toya punika’. Artinya kurang lebih begini, ‘Orang yang aktif menggarap sawah disebut anggota subak, yang mengatur pembagian air disebut pekaseh, semuanya bertanggung jawab atas pembagian air di antara anggota subak’.

Kearifan lokal subak yang mengusung konsep keberlanjutan sejalan dengan sistem climate smart agriculture (CSA), sebagai upaya menghadapi perubahan iklim. Perubahan curah hujan dan kenaikan suhu udara yang juga berdampak di sektor pertanian, selain mengubah jadwal tanam, juga mengakibatkan produksi pertanian menurun. Di sinilah strategi adaptasi dan mitigasi menjadi upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satunya, melalui pengembangan teknologi pengelolaan air yang serasi dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Tim Komunikasi dan Media G20

Foto:  Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels