:
Jakarta, InfoPublik – Emisi karbon menjadi topik hangat dalam pertemuan G20 Roma, Italia, pada 30-31 Oktober 2021. Hal itu didorong fakta, emisi karbon dari negara-negara G20 terus meningkat sebagai akibat dari tingginya penggunaan bahan bakar fosil dalam penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hasilnya? Para pemimpin G-20 berkomitmen pada tujuan utama Perjanjian Paris (Paris Agreement,) untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra-industri. Selain itu, mereka juga berjanji untuk mencapai target emisi nol karbon bersih pada atau sekitar pertengahan abad ini.
Pembatasan emisi karbon merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar lagi. Alasannya, pembiaran emisi karbon akan berakibat buruk bagi suhu bumi. Sebagaimana isi dokumen NDC yang ada saat ini, suhu bumi akan meningkat lebih dari 3°C apabila emisi karbon terus meningkat.
Dampak kenaikan suhu tersebut, demikian laporan Brown to Green Report 2019: The G20 Transition Towards a Net-Zero Emissions Economy yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta pada 19 November 2019 (di akses Senin, 8/11/2021, https://iesr.or.id/menuju-net-zero-emission-economy) bisa menyebabkan dampak mengerikan. Sebagai gambaran, saat ini kerugian yang melanda negara G20 akibat perubahan cuaca yang ekstrim, menyebabkan kematian sebanyak 16.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar US$ 142 triliun setiap tahun.
Dalam upaya mencapai Paris Agreement, dibutuhkan strategi pembangunan dan investasi untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih hijau, khususnya investasi di pembangkit listrik, transportasi, dan industri manufaktur. Di samping itu, Indonesia membutuhkan strategi untuk membuat ekonomi Indonesia lebih resilient terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan.
Mensikapi emisi karbon tersebut, Bappenas melakukan latihan untuk mencapai Net Zero Emissions Indonesia. Ada beberapa skenario untuk mencapai Net Zero Emission di Indonesia berdasarkan pilihan 2045, 2050, atau 2060.
"Pemerintah juga sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan pemilihan tahun dalam mencapai Net Zero Emission. Karena, hal ini akan berimplikasi pada pola pembangunan dan pilihan kebijakan yang harus diterapkan," kata Menteri Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam keterangan tertulis, Minggu (7/11/2021).
Untuk mendukung pencapaian Net Zero Emission, terdapat beberapa kebijakan pembangunan rendah karbon yang ada perlu diperkuat. Pertama, sektor energi perlu mengurangi konsumsi energi sekaligus mempercepat transisi menuju energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Kedua, teknologi memainkan peran penting dalam skenario Net Zero Emissions. Salah satu kebijakan yang dianggap bermanfaat adalah penerapan Carbon Capture and Storage (CCS) dan beralih ke bahan bakar hidrogen.
Ketiga, sektor pertanahan perlu melestarikan penyerap karbon melalui reboisasi hutan dan lahan gambut, rehabilitasi mangrove, pencegahan deforestasi, dan pencegahan kebakaran.
Keempat, sektor persampahan perlu memikirkan kembali pengelolaan sumber daya dan sampah dengan menerapkan prinsip ekonomi sirkular sekaligus merancang pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
"Selain itu, kebijakan fiskal untuk mendukung Net Zero Emission ini juga penting. Kebijakan fiskal termasuk menghilangkan subsidi bahan bakar dan mulai menerapkan pajak karbon," tutur Surharso.(*)
Ilustrasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038, menggunakan metode co-firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan memanfaatkan biomassa sebagai substitusi (campuran) batubara. (Dok. Kementerian ESDM, https://ebtke.esdm.go.id/post/2020/02/28/2490/terapkan.metode.co-firing.di.pltu.ini.potensi.biomassa.untuk.subtitusi.batubara)