Sepanjang 2017: Terjadi 2.057 Bencana, 282 Meninggal dan 3,2 Juta Mengungsi

:


Oleh H. A. Azwar, Senin, 20 November 2017 | 19:53 WIB - Redaktur: Juli - 457


Jakarta, InfoPublik - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan ancaman bencana akan terus meningkat seiring dengan tingginya curah hujan. Puncak hujan diperkirakan terjadi Januari mendatang sehingga bencana banjir, longsor dan puting beliung diprediksi juga akan meningkat.

"Ini di luar dari bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami dan erupsi gunungapi yang dapat terjadi kapan saja," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Senin (20/11).

Berdasarkan data sementara kejadian bencana selama 2017, atau dari 1 Januari 2017 hingga 20 November 2017, terdapat 2.057 bencana. Jenis dan jumlah kejadian bencana ini terdiri dari banjir (689), puting beliung (618), tanah longsor (545), kebakaran hutan dan lahan (96), banjir dan tanah longsor (63), kekeringan (19), gempa bumi (18), gelombang pasang/abrasi (7), dan letusan gunungapi (2).

"Dampak bencana dari 2.057 kejadian adalah 282 orang meninggal, 864 orang luka-luka dan 3.209.513 orang mengungsi dan menderita. Kerusakan bangunan meliputi 24.282 unit rumah rusak (4.594 rusak berat, 4.164 rusak sedang dan 15.524 rusak ringan) dan 313.901 unit rumah terendam. Sebanyak 1.611 unit fasilitas publik meliputi  974 unit fasilitas pendidikan, 546 unit fasilitas peribadatan dan 91 fasilitas kesehatan," ujar Sutopo.

Selain itu, dikatakan Sutopo bahwa dampak ekonomi juga cukup besar karena telah menyebabkan penderitaan masyarakat. "Sebagai misal dampak kerugian ekonomi peningkatan status Awas Gunung Agung di Bali mencapai lebih dari Rp2 triliun. Jumlah total kerugian dan kerusakan ekonomi akibat bencana belum dilakukan perhitungan," katanya.

Sutopo menambahkan, pemda dan masyarakat diimbau untuk terus meningkatkan kewaspadaan menghadapi bencana. Kejadian curah hujan ekstrem makin meningkat saat ini. Dampak perubahan iklim global memang makin meningkatkan kejadian hujan ekstrem.

Selain itu kerusakan lingkungan, degradasi lahan, daerah aliran sungai kritis dan banyaknya penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana juga makin meningkatkan risiko bencana. "Saat ini sesungguhnya darurat ekologi. Luas lahan kritis di Indonesia sekitar 24,3 juta hektar. Laju kerusskan hutan rata-rata berkisar 750.000 hektare per tahun. Sementara kemampuan pemerintah melakukan rehabilitasi hutan dan lahan rata-rata berkisar 250.000 hektare per tahun," imbuh dia.

Masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir di dataran banjir dan bantaran sungai seperti di sepanjang pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, Kalimantan dan lainnya harus waspada terhadap ancaman banjir. Begitu pula masyarakat yang bermukim di daerah rawan longsor di perbukitan, pegunungan atau tebing dan lereng hendaknya waspada dari ancaman longsor. Kenali lingkungan sekitarnya. Jika di bagian hulu atau di daerahnya hujan deras hendaknya waspada. Awasi anak-anak bermain saat banjir. Seringkali musibah anak-anak hanyut saat bermain air banjir yang kemudian terseret arus sungai atau banjir. 

"Hal yang sama, masyarakat perlu melakukan pemantauan lingkungan sekitar akan tanda-tanda longsor seperti adanya retakan, amblesan tanah, mata air berubah keruh, tiang listrik atau pohon menjadi miring, dan lainnya," ungkap Sutopo.

Peta rawan banjir dapat diakses di website BNPB. Begitu juga peta rawan longsor dapat diakses di website Badan Geologi. Prediksi cuaca dapat diperoleh dari BMKG. "Hendaknya peta dan informasi tersebut dijadikan dasar bagi pemda dan aparat untuk memberikan informasi, sosialisasi dan peringatan dini kepada masyarakat," pungkas Sutopo.