Longsor Kembali Landa Karanganyar

:


Oleh H. A. Azwar, Sabtu, 3 Desember 2016 | 23:05 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 609


Jakarta, InfoPublik - Hujan lebat yang berlangsung sejak Jumat (2/12) siang hari telah menyebabkan longsor dan menelan korban jiwa di Kabupaten Karanganyar.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, tebing longsor menimbun rumah warga di Dusun Banaran Desa Plosorejo Kecamatan Kerjo Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah pada Jumat (2/12) pukul 21.30 WIB.

Longsor menyebabkan pemilik rumah tewas atas nama Catur (21) dan dua orang luka berat atas nama Paikem (52) dan Harso Wiyono (55). Tim SAR dan masyarakat mengevakuasi korban. Korban dirujuk ke RS Moewardi, kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan pers, Sabtu (3/12).

Sutopo menambahkan, saat ini sebanyak 567 personel gabungan terus melakukan pencarian korban longsor di Desa Tegalsari Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar yang tertimbun longsor sejak 29 November 2016 lalu.

Menurut Sutopo, pada Sabtu (3/12) pukul 05.30 WIB tim SAR gabungan mulai melakukan penyisiran lokasi. Ditemukan tanda-tanda bau di sekitar sektor 2 pada pukul 06.30 Wub. Selanjutnya langsung dilakukan pencarian dan ditemukan korban bernama Gito pada pukul 08.00 WIB jenasah berhasil dievakuasi dan langsung dibawa ambulans ke RSUD. “Pencarian terhadap satu korban longsor masih diteruskan,” ujar Sutopo.

Sutopo menjelaskan, Kabupaten Karanganyar memang rawan bencana longsor. Ada sembilan kecamatan rawan longsor dari 17 kecamatan di Kabupaten Karanganyar. Sembilan kecamatan tersebut adalah Kecamatan Jenawi, Kerjo, Ngargoyoso, Tawangmangu, Karangpandan, Matesih, Jatiyoso, Jatipuro dan Jumapolo. “Daerah rawan longsor tersebut saat ini sudah berkembang menjadi permukiman sehingga memiliki risiko tinggi bencana longsor,” jelas Sutopo.

Hal sama, lanjut dia, juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Ada 274 kabupaten/Kota yang rawan longsor dengan jumlah penduduk yang terpapar 40,9 juta jiwa dari longsor sedang hingga tinggi.

Mereka tinggal di lereng-lereng perbukitan, pegunungan bahkan di samping tebing yang hampir tegak lurus sehingga mudah longsor saat hujan, imbuh Sutopo.

Sutopo mengaku, tata ruang harus ditegakkan di daerah-daerah rawan longsor yang sudah dipetakan di seluruh Indonesia. Namun kenyataannya terus berkembang menjadi permukiman penduduk, dimana rumah-rumah dibangun di bawah lereng atau tebing rawan longsor.

Mitigasi longsor juga masih sangat minim di lingkungan masyarakat sehingga setiap terjadi longsor yang sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi. Bahkan pada tahun 2014, 2015 dan 2016 ini longsor menjadi bencana yang paling banyak menimbulkan korban jiwa tewas, beber Sutopo.

Dikatakan Sutopo, bahwa bukan hujan yang menyebabkan longsor, tetapi tingginya kerentanan menyebabkan longsor terus meningkat. Sutopo menegaskan, harus ada penataan ulang dari tata ruang yang ada, selain itu juga perlu pembatasan izin dan peningkatan implementasi tata ruang.

Jika tidak, maka longsor akan makin meningkat dan makin bertambah jumlah korban serta kerugian. Masyarakatlah yang paling banyak menderita, khususnya masyarakat yang kelas ekonominya menengah ke bawah karena tidak memiliki kemampuan memitigasi dirinya, keluarganya dan lingkungannya, kata Sutopo.

Ingat, tata ruang kuncinya melakukan pembenahan. Tata ruang lebih efektif dan mudah mengatasi longsor dibandingkan dengan upaya mitigasi lainnya. Tidak mungkin semua lereng atau bukit diperkuat dengan struktural. Tidak mungkin juga semua dipasang alat peringatan dini longsor, dan seterusnya. Perlu komitmen semua pihak untuk menata ulang ini baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat, tukas Sutopo.