:
Oleh H. A. Azwar, Kamis, 17 November 2016 | 08:43 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K
Jakarta, InfoPublik - Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut sejak 2014 hingga 2016 terdapat 487 kejadian longsor yang menyebabkan 161 tewas, 88 luka, 38.092 menderita dan mengungsi, serta ribuan rumah rusak.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan ada jutaan masyarakat Indonesia terancam bencana longsor. Apalagi meningkatnya curah hujan akan meningkatkan pula ancaman bencana longsor. "Di Indonesia terdapat 40,9 juta jiwa atau sekitar 17,2% dari penduduk nasional yang terpapar langsung oleh bahaya longsor sedang-tinggi. Dari total jumlah tersebut terdapat 4,28 juta jiwa balita; 323 ribu jiwa disabilitas, dan 3,2 juta jiwa lansia," katanya, Kamis (17/11).
Ditemukannya empat korban tewas dari longsor yang menimbun mobil di Jalan Kolonel Masturi RT 07/06, Kampung Keramat, Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat pada Selasa (15/11), menambah jumlah korban longsor.
Kejadian bencana longsor setiap tahun juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat dalam 10 tahun terakhir. Jika pada tahun 2007 terdapat 104 kejadian, kemudian berturut-turut tahun 2008 ada 112 kejadian, 2009 (238), 2010 (400), 2011 (329), 2012 (291), 2013 (296), 2014 (600) dan 2015 (515). Selama 10 tahun terakhir terdapat 3.372 kejadian longsor di Indonesia yang menimbulkan korban jiwa 1.685 orang tewas, 1.657 jiwa luka-luka, 443.998 jiwa menderita dan mengungsi, dan lebih dari 22.000 rumah rusak akibat longsor.
Korban tewas yang ditimbulkan pun cukup besar yaitu tahun 2007 ada sebanyak 93 orang tewas, 2008 (102), 2009 (76), 2010 (266), 2011 (171), 2012 (119), 2013 (190), 2014 (372) dan 2015 ada 135 orang tewas. Tentu ini bukan angka statistik belaka. Satu korban bencana adalah suatu tragedi dan harus diminimalkan.
Menurutnya, semua terpapar dari longsor pada saat musim penghujan. “Sebagian besar mereka tidak memiliki kemampuan menghindar dan memproteksi dirinya dari bahaya longsor. Bahkan masih banyak masyarakat yang tidak paham antisipasi mengenai longsor,” ujar Sutopo seraya menambahkan mitigasi bencana, baik struktural maupun non struktural masih sangat minim sehingga setiap musim penghujan longsor mengancam jiwa dan harta milik masyarakat.
Sutopo menjelaskan, daerah rawan longsor sesungguhnya sudah dipetakan. Peta skala 1 : 250.000 sudah dipetakan dan dibagikan kepada seluruh Pemda. Bahkan PVMBG Badan Geologi menyusun peta prediksi longsor bulanan sesuai dengan ancaman curah hujan yang akan terjadi. Peta tersebut juga dibagikan ke Pemda dan dapat diunduh di website PVMBG disertai dengan tabel penjelasan daerah-daerah kecamatan yang rawan longsor tinggi, sedang hingga rendah. BNPB juga telah mengembangkan peta risiko bencana longsor yang memuat peta bahaya, kerentanan dan kapasitas.
Namun demikian peta tersebut sebagian besar belum menjadi dasar dalam penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah. Implementasi tata ruang berbasis peta rawan longsor masih sangat minim. Banyak permukiman masyarakat yang berkembang di daerah-daerah zona merah, bahkan di bawah lereng perbukitan atau pegunungan yang hampir tegak lurus. Memang daerah-daerah perbukitan dan pegunungan adalah daerah yang subur. Tanah gembur umumnya subur dan menyediakan mata air melimpah. Namun daerah tersebut rawan longsor sehingga harus dibatasi peruntukannya. Penataan ruang adalah upaya yang paling efektif untuk mencegah korban longsor.
Data BNPB menyebut selama 10 tahun terakhir daerah-daerah yang paling banyak terjadi longsor adalah Jawa Tengah ada sebanyak 1.126 kejadian, Jawa Barat (858), Jawa Timur (387), Sumatera Barat (149), dan Kalimantan Timur sebanyak 83 kejadian.
Daerah-daerah lain juga sering terjadi longsor saat hujan deras. Daerah rawan longsor yang perlu memperoleh perhatian serius adalah daerah-daerah pegunungan dan perbukitan yang banyak penduduknya seperti di Bukit Barisan dari Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Sumsel, Lampung; di Jawa bagian tengah dan selatan; di Bali, NTT, NTB, Maluku dan Papua; dan di Sulawesi (hampir sebagian besar semua wilayah dengan topografi pegunungan yang berpotensi longsor dan banjir bandang.
Longsor dapat diantisipasi sebelumnya. Tidak mungkin semua wilayah di Indonesia harus dipasang sistem peringatan dini longsor. Sebab memerlukan ratusan ribu unit dan biaya yang sangat besar. "Kuncinya adalah rencana tata ruang wilayah perlu ditegakkan. Sosialisasi dan peningkatan kapasitas pemda dan masyarakat terus ditingkatkan agar masyarakat tangguh menghadapi bencana longsor," pungkas Sutopo.