BNPB dan UGM Bangun Sistem Peringatan Dini Longsor

:


Oleh H. A. Azwar, Selasa, 20 September 2016 | 12:43 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K


Jakarta, InfoPublik - Untuk mengantisipasi banjir dan longsor yang semakin meningkat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) membangun sistem peringatan dini longsor.

Sebagian besar sistem peringatan dini longsor tersebut dipasang di Jawa yang memiliki risiko tinggi longsor seperti di Kabupaten Banjarnegara, Magelang, Kulon Progo, Banyumas, Cianjur, Bandung Barat, Trenggalek, Sukabumi, Bogor, Sumedang, Wonosobo, Garut dan sebagainya. Alat juga dipasang di daerah lain di luar Jawa seperti di Kabupaten Nabire, Aceh Besar, Buru, Lombok, Bantaeng, Sikka, Kerinci, Agam, Kota Manado dan lainnya.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, BNPB bekerjasama dengan UGM membangun 72 unit sistem peringatan dini longsor selama tiga tahun terakhir yaitu sejak tahun 2014 hingga 2016. "Pada tahun 2014, atas perintah Presiden Joko Widodo, pasca longsor di Banjarnegara, BNPB dan UGM memasang 20 unit sistem peringatan dini longsor. Kemudian dilanjutkan 35 unit pada tahun 2015 dan 17 unit pada tahun 2016," kata Sutopo di Jakarta, Selasa (20/9).

Menurutnya, sistem peringatan dini longsor tersebut meliputi 7 (tujuh) sub sistem yang dibangun meliputi sosialisasi, penilaian risiko, pembentukan kelompok siaga bencana tingkat desa, pembuatan denah dan jalur evakuasi, penyusunan SOP, pemantauan dan gladi evakuasi, dan membangun komitemen pemda dan masyarakat.

Jadi, masyarakat setempat dilibatkan secara langsung dalam proses pembangunan sistem peringatan dini longsor. Masalah utama dalam pembangunan sistem peringatan dini adalah cultural, ujarnya.

Artinya, lanjut Sutopo, bagaimana masyarakat memahami ancaman di sekitarnya kemudian mampu beradaptasi dan melakukan antisipasi terhadap ancaman yang ada. “Informasi dari sistem peringatan dini dipercaya kemudian menjadi bagian dari perilaku kehidupan sehari-hari. Ini adalah tantangan yang sulit dalam membangun sistem peringatan dini bencana,” imbuh dia.

Sutopo menyebut, Indonesia membutuhkan ratusan ribu unit sistem peringatan dini longsor untuk menjaga seluruh daerah rawan longsor sehingga butuh biaya yang sangat besar. “Oleh karena itu partisipasi dari pemda, dunia usaha dan masyarakat diperlukan. Jika hanya mengandalkan semuanya dari pemerintah maka terbatas jumlah dan sebaran yang dapat dibangun mengingat luasnya daerah rawan longsor di Indonesia,” beber Sutopo.

Sebelumnya, BMKG memprediksikan Indeks ENSO sudah mengarah pada kondisi La Nina lemah dan diprediksi bertahan hingga awal 2017. Bersamaan dengan La Nina terjadi fenomena Dipole Mode negatif sejak Mei 2016. Kondisi ini  diprediksi bertahan hingga November 2016. Anomali suhu muka laut yang hangat di sekitar perairan Indonesia berkontribusi menambah tingginya curah hunan di Sumatera dan Jawa bagian Barat.

Hal inilah yang menyebabkan hujan berintensitas tinggi sering terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Akibatnya banjir dan longsor meningkat.

Selama periode 2016 ini, telah terjadi 1.569 kejadian bencana di Indonesia, dimana 265 orang tewas, 310 orang luka-luka, 2,1 juta jiwa menderita dan mengungsi, dan 23.048 rumah rusak.  Dari total kejadian bencana tersebut, banjir dan longsor adalah yang paling dominan.

Banjir adalah jenis bencana yang paling banyak kejadiannya selama 2016, yaitu 554 kejadian dan menimbulkan 72 orang tewas, 93 orang luka-luka, dan 1,9 juta jiwa menderita dan mengungsi. Namun longsor adalah jenis bencana paling mematikan. Dari 349 kejadian longsor selama 2016, longsor menyebabkan 130 orang tewas, 63 orang luka dan 18.728 jiwa mengungsi dan menderita.

Seperti halnya bencana tahun 2014 dan 2015, longsor adalah bencana yang paling menimbulkan korban jiwa tewas. Ada 40,9 juta jiwa masyarakat Indonesia yang terpapar dari bahaya longsor sedang hingga tinggi. Artinya mereka bertempat tinggal di daerah bahaya longsor yang dapat terjadi kapan saja, umumnya saat terjadi hujan lebat. Kemampuan mitigasi masyarakat tersebut, baik mitigasi struktural maupun non struktural masih terbatas. Di satu sisi ancaman longsor makin meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan, baik intensitas maupun durasi hujan.