Laweyan, Hutan Kapas yang Menjadi Sentra Batik Berkualitas

:


Oleh lsma, Sabtu, 6 Agustus 2022 | 08:04 WIB - Redaktur: Untung S - 828


Solo, InfoPublik - Laweyan adalah kecamatan yang terletak di barat Kota Surakarta. Kecamatan itu terkenal karena penduduknya banyak yang menjadi produsen dan pedagang batik, sejak dulu sampai sekarang.

Namun, tahukah Anda bagaimana wajah Laweyan sebelum dinobatkan menjadi destinasi wisata budaya seperti saat ini? Dan bagaimana sebenarnya pasang surut batik Laweyan dari dulu hingga sekarang?

Ketua Umum Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), Alfa Febila Priatmono, memaparkan Laweyan merupakan kampung batik tertua di Indonesia. Dari berbagai studi dan literatur disebutkan, bahwa Laweyan itu merupakan suatu kawasan heritage yang dahulunya merupakan bagian dari kerajaan Pajang.

"Jadi dulu itu ketika kerajaan Majapahit hancur, muncullah kerajaan Demak. Setelah Demak juga ikut hancur, maka muncullah Pajang. Pada masa kerajaan Pajang itulah dikisahkan munculnya desa Laweyan. Laweyan sendiri di zaman itu itu merupakan tanah perdikan," kata Alfa saat ditemui di Kampung Batik Laweyan pada Jumat (5/8/2022).

Pada zaman dahulu, lanjut Alfa, para raja di Jawa sering menghadiahkan hak istimewa atas suatu wilayah kepada masyarakat ataupun seseorang yang berjasa termasuk golongan ulama. Tanah itu disebut perdikan. Semua penduduk di tanah perdikan tidak perlu membayar pajak.

"Tapi, menurut sejarah yang kami baca lagi, sebenarnya sebelum kerajaan Pajang itu muncul, desa Laweyan itu sudah ada sekitar tahun 1500-an," ujar Alfa.

Kenapa disebut Laweyan, Alfa menjelaskan, sebenarnya Laweyan itu asal katanya adalah Lawe yang berarti benang. Di mana benang itu pada zaman dahulu digunakan untuk menghukum orang-orang yang bersalah. "Dari literatur yang saya baca dari Mloyodipuro, Lawe itu identik dengan benang," imbuhnya.

Ia menuturkan, dulu di Laweyan dan sekitarnya adalah hutan kapas yang kualitas kapasnya nomor satu. Pada zaman dahulu, desa Laweyan itu adalah desa penghasil benang nomor satu, yang kualitas benangnya juga nomor satu. Bahkan pada zaman dulu, benang dari Laweyan sudah di ekspor.

Menurutnya, pada zaman dahulu, pusat-pusat industri letaknya tidak jauh dari sungai serta dekat dengan bahan baku. Jadi transportasi menggunakan alat transportasi air atau perahu. Dulu itu ada yang namanya Bandar Banaran Laweyan, setelah ada bandar itu barulah ada Pasar Laweyan. Mulai dari sinilah Ki Ageng Enis sudah merintis perbatikan.

Ki Ageng Enis, yang dikenal juga sebagai Ki Ageng Laweyan adalah seorang tokoh dari Sela yang hijrah ke Pengging. Ia dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan, karena bertempat tinggal di Laweyan.

Sekitar tahun 1.500-an industri dengan bahan baku kapas seperti benang, kemudian tenun, hingga batik mulai berkembang di Laweyan. Pada abad 15 itu, para pengrajin batik laweyan mulai membangun industri batik tulis dengan pewarna alami sehingga desa laweyan terus berkembang menjadi kawasan penghasil batik yang tertua di Indonesia.

Alfa menambahkan, seiring dengan pengembangan teknik batik tulis ke teknik batik cap, industri batik laweyan mengalami puncak kejayaannya pada era 1900-an semasa pergerakan kemerdekaan yang dimotori oleh Sarikat Dagang Islam (SDI) dengan pimpinan KH Samanhudi.

Dibandingkan dengan batik tulis proses pembuatan batik cap relatif lebih mudah, lebih cepat dan lebih ekonomis sehingga harga jualnya lebih bisa diterima masyarakat pada umumnya.

Pada masa itu muncullah nama Tjokrosoemarto, seorang tokoh juragan batik yang fenomenal, beliau memiliki industri batik terbesar di laweyan, jumlah omzetnya luar biasa yang didukung oleh pengrajin-pengrajin batik dari berbagai daerah di pulau Jawa.

Wilayah pemasarannya tak hanya di dalam negeri, Tjokrosoemarto juga memasarkan batik ke manca negara, Beliau merupakan seorang eksportir batik pertamakali dari Indonesia. Selain Tjokrosoemarto ada banyak juragan batik yang sukses dan sekarang meninggalkan sisa-sisa kejayaannya berupa bangunan-bangunan rumah kuno artistik yang berasitektur jawa dan eropa di berbagai sudut Kampoeng Batik Laweyan.

Kemudian, lanjut Alfa, pada era 1970-an mulai muncul teknik baru untuk membuat tekstil bermotif batik tanpa menggunakan lilin panas sebagai perintang warna namun menggunakan screen sablon. Saat itu “tekstil bermotif batik” dikenal sebagai batik printing, tentu saja penamaan itu keliru karena proses pembuatan printing dan batik itu berbeda.

Akhirnya ada peraturan dari pemerintah untuk melindungi konsumen dengan mengharuskan para penjual batik untuk memberikan informasi yang benar tentang kategori produk batik tulis, batik cap dan printing (tekstil bermotif batik).

Dengan kemunculan produk printing yang relatif murah dan proses produksinya sangat cepat mulai menyaingi pemasaran batik tulis dan batik cap. Satu persatu industri batik di laweyan mengalami kebangkrutan dan pada tahun 2000an jumlah industri batik di laweyan hanya menyisakan kurang dari 20 saja.

"Akhirnya mulai tahun 70-an itu kegiatan membatik di Laweyan lesu. Hingga akhirnya pada 2004 masyarakat Laweyan tersadarkan bahwa batik Laweyan itu memiliki potensi yang besar dan ini merupakan salah satu aset Solo, kalau tidak dirawat maka akan punah," ujar Alfa.

Ditambahkannya, atas dasar kesadaran masyarakat akan potensi batik Laweyan yang luar biasa, maka pada 25 September 2004, FPKBL bersama masyarakat Laweyan mengikrarkan Kampoeng Batik Laweyan dan pemerintah Kota Surakarta merestui Kampoeng Batik Laweyan sebagai sebuah destinasi wisata budaya, yakni Kampoeng Batik Laweyan.

"Sejak Kampoeng Batik Laweyan ditetapkan sebagai kawasan wisata budaya, kegiatan membatik pun mulai bergeliat lagi. Kalau dulu istilahnya yang dijual hanya batik, sekarang kita kembangkan ke wisata kreatif. Jadi tidak hanya batik, tapi juga bangunan, lingkungan kami kembangkan. Demikian juga dengan tradisi lainnya juga kami kembangkan," kata Alfa.

Saat ini, lanjut Alfa, Kampoeng Batik Laweyan tercatat sebagai pelopor industri batik moderen yang "ramah lingkungan" karena sejak 2006 telah mengaplikasikan Instalasi Pengolah Air Limbah secara komunal. IPAL komunal pertama di Indonesia itu dibangun atas bantuan GTZ dari Jerman dan BLH Surakarta.

Sejak saat itu banyak akademisi, siswa sekolah, pemda dan komunitas UKM yang mengadakan studi banding terkait pengelolaan IPAL komunal. Keberadaan IPAL ini memberi inspirasi dan motivasi daerah lain untuk segera berbenah menuju terbentuknya kawasan industri ramah lingkungan.

"Kota Solo ini dikenal sebagai salah satu kota penghasil batik. Namun, kampung batik tertua di Indonesia ternyata ada di Kota Solo tepatnya di Laweyan itu," pungkas Alfa.

Sementara itu, Wakil Ketua FPKBL Gunawan Nizar menambahkan, eksistensi Kampung Laweyan sebagai kawasan industri batik sudah berkembang lagi. Apalagi ketika batik diklaim oleh Malaysia, rasa nasionalisme untuk melestarikan batik muncul.

“Gara-gara klaim itu, nasionalisme untuk memakai baju batik meningkat tajam. Klaim itu menyebabkan permintaan batik di Laweyan naik. Semua orang membabi buta ingin mengenakan batik,” ujar Gunawan.

Menurut Gunawan, perkembangan industri batik di Laweyan kini semakin meningkat. Dampak positif ini makin dirasakan setelah diakuinya batik sebagai intangible heritage oleh UNESCO.

“Kini perajin batik di sini membludak, ada sekitar seratusan perajin. Kampung batik Laweyan menjaadi destinasi wisata batik," kata Gunawan.

Foto: FPKBL