:
Oleh Gusti Andry, Minggu, 14 Oktober 2018 | 14:53 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K
Nusa Dua, InfoPublik - Satu stand di Indonesia Pavilion selalu ramai dikunjungi kaum Hawa, termasuk sejumlah delegasi asing. Ada yang berfoto ria sambil memajang kipas cantik warna-warni atau memilih-milih produk unik lainnya. Tak hanya itu, banyak yang belajar membuat kipas khas Bali ini, yang setelah jadi boleh dibawa pulang menjadi cinderamata.
Itulah suasana stan Kerajinan Kipas Khas Bali di Indonesia Pavilion pada rangkaian Annual Meeting International Monetary Fund (IMF) – Worl Bank (AM IMF-WBG) 2018 di kawasan Nusa Dua, Bali. Kerajinan Kipas yang memiliki brand “Bee Handycrafts” ini dikelola oleh AAA Mas Utari N SH (47). Ia memiliki workshop di Jl A Yani No 366 Denpasar, Bali.
Selain memiliki ciri khas produk dengan dominasi warna-warna cerah seperti, hijau, biru, merah, oranye, pink, kuning, ada juga beragam corak batik, songket, tenun ikat, dan ragam corak unik lainnya. Bahkan, sebagian produk ini diproduksi menggunakan bahan limbah berupa sisa kain dan limbah lainnya dari berbagai sentra UKM dan konveksi besar di Bali. “Sebagian kipas yang kami buat memang memanfaatkan bahan-bahan limbah, seperti sisa-sisa kain, kawat, kaleng bekas dan oli pelumas,” jelas Utari, Sabtu (13/10).
Utari menceritakan, ia mulai membuat kipas tahun 2010. Sebelum membuat kipas, sejak tahun 2007, ibu berputra 4 ini memproduksi batik Bali dan “keben” yakni perangkat untuk ibadah dalam tradisi Hindu Bali yang bentuknya seperti kotak hantaran pengantin.
“Tahun 2010, Pemda menggalakkan tenun ikat Bali. Maka, setiap saya mengenakan kebaya tenun ikat Bali, saya selalu melengkapinya dengan aksesoris berupa kipas warna-warni yang saya buat sendiri. Ternyata, Ibu Walikota dan sejumlah pejabat menyukai kipas ini dan minta dibuatkan,” ungkap Utari.
Sejak itulah, lanjut Utari, kipas Bali ciptaannya mulai mendapat respon masyarakat. Tahun 2011, ia mengikuti pameran Inakraf di Jakarta Convention Center (JCC). Akhirnya, kipas berbahan limbah ini semakin dikenal publik dan pesanan pun semakin banyak.
Saat ini, kata Utari, ada tiga kelompok besar kipas yang diproduksi. Pertama, kipas ramah lingkungan yang menggunakan bahan-bahan limbah. Kedua, kipas lukis kayu. Kipas ini dibuat dari kayu biasa hingga kayu cendana. Sedangkan lukisannya terdiri dari tiga kelompok besar, yakni lukisan budaya dan tradisi Bali, keseharian masyarakat Bali, dan cerita pewayangan.
Ketiga, kipas wastra Indonesia. Yakni, kipas yang menggunakan kain tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, seperti batik Solo, Jogja, songket, tenun, tenun ikat, dan sebagainya, termasuk kipas modern yang menggunakan kain bercorak modern.
Perempuan yang akrab disapa Gung Mas ini mengaku dibantu sekitar 70 perajin. Jumlah produksi yang dihasilkan sekitar 300 kipas ramah lingkungan per hari, 100 kipas kayu lukis per hari dan 100 kipas wastra Indonesia per hari. “Kipas ramah lingkungan, banyak disuka wisatawan lokal untuk oleh-oleh. Sedangkan kipas kayu lukis membutuhkan waktu agak lama dan banyak disukai wisatawan asing,” tambah Utari.
Tak heran, jika kipas lukis ini tampilannya eksklusif dan sangat diminati oleh delegasi asing Annual Meeting IMF-WB 2018. “Kedutaan besar asing juga menyukai kipas ini, karena ada identitas Balinya. Termasuk, kolektor kipas juga suka jenis ini karena eksklusif,” jelas Gung Mas.
Untuk harganya, Gung Mas mematok Rp750.000-Rp2 juta untuk kipas lukis kayu biasa. Mulai dari Rp2 juta-Rp3,5 juta untuk kipas lukis kayu cendana. Sedangkan kipas ramah lingkungan hanya Rp 15.000-Rp50.000. Kipas lukis sederhana Rp175.000Rp250.000 dan kipas bambu hanya Rp35.000-Rp75.000.
Sedangkan untuk pasar ekspor, kipas ini sudah menembus pasar Filipina, Thailand, Inggris, Portugis, Perancis, Malaysia, dan Amerika Serikat.Dwi Hardianto