Dunia Batasi Gerak

:


Oleh Taofiq Rauf, Senin, 15 Maret 2021 | 06:45 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 821


Jakarta, GPR News - Hampir setiap hari meja kayu berdesain melingkar di kediaman Alexa Upton tak pernah kosong. Buku, laptop, dan beragam alat tulis tergeletak di atasnya. Meja itu menjadi tempat belajar kedua anak Alexa yang masih berusia tujuh dan enam tahun.

Hari itu, Alexa tampak sedang mengajar sang buah hati. Ia duduk di antara kedua putranya sambil mengarahkan kursor komputer jinjing berwarna ungu yang biasa dipakai untuk belajar daring.  "Saya lelah, ini sudah hampir sepanjang tahun ini anak saya di rumah," ujar Alexa dalam wawancara dengan BBC News di London yang disiarkan Kamis (28/1/2021).

Alexa mengaku sangat kewalahan karena tidak mempunyai asisten. Ia harus berperan sebagai guru, membersihkan kamar mandi, hingga menyiapkan makanan. Belum lagi Alexa masih masih memiliki dua anak kembar yang berusia empat tahun.

 "Saya tak tahu apakah anak yang kecil senang saat saya mengajarkan kedua kakaknya belajar," ujarnya yang berharap besar agar pandemi ini segera berakhir.

Alexa hanya satu dari jutaan orang tua di Inggris yang harus bekerja keras mengajarkan anaknya di rumah menyusul keputusan lockdown (penguncian) pemerintahan PM Boris Johnson guna mencegah penyebaran COVID-19.

Inggris Raya kembali melakukan kebijakan penguncian wilayah. Hal ini sebagai upaya menghadapi dan menekan laju penyebaran virus COVID-19 dengan varian baru yang menular sangat cepat. Di Scotlandia kebijakan lockdown akan berakhir setidaknya sampai akhir Februari. Di Wales sampai 19 Februari, dan Irlandia Utara diperpanjang hingga 5 Maret. Adapun Inggris mengumumkan keputusannya diperkirakan pada 22 Februari, dan sekolah baru bisa dibuka paling cepat pada 8 Maret. 

Pemerintahan Inggris Raya memulai kebijakan penguncian sejak 6 Januari 2021 lalu. Ini adalah kebijakan penguncian ketiga sejak 2020. Sebelumnya lockdown pernah dijalankan pada Maret dan November 2020 dengan tujuan sama.  

Dalam kebijakan penguncian terbaru ini, semua orang harus tinggal di dalam rumah. Mereka hanya boleh keluar jika ada alasan jelas. Warga diperbolehkan belanja untuk kebutuhan pokok. Olahraga izinkan sekali dalam sehari, tapi hanya di daerah lokasi tinggal. Restoran dan pub ditutup, namun diizinkan untuk take away.

Warga juga dilarang untuk menggelar pertemuan sosial kecuali memang tinggal bersama. Mereka yang melanggar aturan dapat terkena denda. Di antaranya 800 pundsterling buat mereka yang hadir dalam pesta lebih dari 15 orang. Denda lebih besar dikenakan penyelenggara yakni mencapai 10 ribu poundsterling.  

Baru-baru ini, sebuah salon di Cornwal dikenai denda 1.000 poundsterling gara-gara seorang pekerjanya ketahuan menggunting rambut sembunyi-sembunyi. Padahal berdasarkan aturan, semua bisnis salon ataupun kecantikan mesti tutup selama penguncian."Kami tak akan ragu untuk mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang mengabaikan aturan dan membuat publik menjadi risiko," ujar Konselor di Cornwall, Rob Nolan.

Berdasarkan data, angka COVID-19 di Inggris hingga 10 Februari 2021 mencapai 3,97 juta kasus. Jumlah itu sudah mengalami penurunan pascapemberlakukan lockdown. Level tertinggi tercatat pada 8 Januari 2021 dengan 68.053 kasus.

Angka COVID-19 di Inggris sempat merangkak naik menyusul ditemukannnya virus varian baru yang mampu menyebar dengan cepat. Varian dari Inggris bahkan membuat khawatir banyak negara di dunia. Pada Desember 2020 lalu, tercatat lebih dari 40 negara yang memblokir penerbangan dari Inggris.

Profesor Andrew Hayward, anggota Scientific Advisory Group for Emergencies (Sage) mengatakan kepada BBC Radio 4's, penguncian akan menyelamatkan puluhan ribu nyawa. Menurutnya, varian virus yang dihadapi berbeda, karena itu boleh jadi lockdown yang dilakukan tak cukup.  "Lockdown yang kita jalani sekarang tak cukup sekadar di rumah, kita tunggu vaksin, kita harus aktif melakukannya," ujar Hayward seperti dikutip BBC pada Selasa (5/1/2021). 

Inggrisnya sebetulnya sudah menjalankan vaksinasi Covid-19. Mereka bahkan menjadi negara pertama yang melakukan vaksin pada 8 Desember 2020 lalu. Inggris memakai vaksin produksi Pfizer.  Tercatat hingga awal Februari sudah 10 juta orang di negara itu yang mendapatkan vaksin setidaknya untuk satu dosis. Pemerintah di London menargetkan dapat memberikan  15 juta vaksin sampai pertengahan Februari bagi mereka berusia 70 tahun ke atas.   

Kebijakan serupa

Tak hanya Inggris yang melakukan upaya pembatasan. Hampir semua negara di dunia dengan kasus COVID-19 tinggi melakukan hal sama. Hanya saja dengan model dan cara berbeda. Ada yang melakukan penguncian secara ketat, namun banyak yang bersifat terbatas agar perekonomian tetap bergerak. Tujuannya sama, membatasi pergerakan orang.    

Pemerintah Prancis misalnya memberlakukan jam malam sejak Desember 2020. Pergerakan antara pukul 20.00 sampai 06.00 dibatasi. Kemudian diperketat pada 16 Januari dari mulai pukul 18.00. Toko dan pusat perbelanjaan mesti tutup mulai jam tersebut dan orang-orang sudah ada di rumah.

Sekolah tetap dibuka, namun dengan pengetesan yang ketat. Sementara bar, restoran, cinema, dan resort ski ditutup. Prancis juga menutup perbatasannya bagi negara non-Uni Eropa dari 31 Januari.

Di Jerman, toko-toko non-esential termasuk salon dan bar ditutup untuk membatasi pertemuan. Begitu juga dengan sekolah. Pemerintah mewajibkan penggunaan masker dengan standar medis. Kebijakan ini diberlakukan sampai dengan 14 Februari.

Sementara di Italia, jam malam diberlakukan pada pukul 22.00 sampai dengan 05.00 waktu setempat. Larangan perjalanan diberlakukan di 20 wilayah sampai dengan 15 Februari. Bar dan restoran di 15 wilayah di Italia tetap boleh buka sampai dengan pukul 18.00. Untuk sekolah sudah diperbolehkan tatap muka, namun dibagi perkelompok. Pengisian kelas secara penuh tidak diperbolehkan.

Pembatasan juga diberlakukan di berbagai negara Eropa lain seperti Yunani, Irlandia,Belgia, Spanyol, Portugal, Denmark, Swedia, dan Belanda. Begitupula di belahan negara Afrika dan Asia.  

 Di Amerika Serikat yang memiliki angka tertinggi COVID-19, pemerintahan baru pimpinan Joe Biden menyiapkan jurus untuk mengendalikan virus. Biden menegaskan strategi nasional AS berdasarkan science bukan politik. 

“Strategi nasional kita komprehensif, semua berdasarkan ilmu pengetahuan bukan politik. Semua berdasarkan kejujuran bukan penyangkalan,” ujar Biden seperti dikutip CNN. Pernyataan Biden sekaligus menyindir presiden terdahulu Donald Trump yang dianggap abai terhadap COVID-19.  

Biden fokus dengan melakukan vaksinasi serta pengetesan dan pelacakan massal penyebaran virus. Adapun pembatasan gerak di lakukan di tingkat negara bagian dengan melihat kondisi di masing-masing daerah.  Sebagai misal di New York, sejak 14 Desember 2020 makan malam bersama di dalam ruangan publik  tidak diperbolehkan. Adapun di rumah pribadi diperbolehkan dengan catatan tak lebih dari 10 orang. Namun kebijakan ini diringankan pada 14 Februari. Makan malam di restoran diizinkan dengan kapasitas 25 persen.

Ricuh di Belanda

Kendati demikian, pembatasan gerak di sejumlah negara bukan tanpa tantangan.  Munculnya perlawanan orang-orang yang menantang pembatasan. Kondisi tersebut terjadi Belanda.  Bentrokan pecah pada 24 Januari 2021 antara polisi antihuru-hara dengan massa yang menolak jam malam. Kericuhan di antaranya terjadi di Amsterdam, Rotterdam, dan Eindoven.

Demonstran yang marah memblokade jam, membakar sepeda, merusak toko, hingga menyulut api di pusat pengetesan virus COVID-19. Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan massa. Ratusan orang ditangkap dalam kerusuhan yang terjadi berhari-hari itu.

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengecam keras demonstrasi yang penuh kekerasan ini. Pemerintah Belanda menegaskan bahwa jam malam akan tetap diberlakukan. “Ini tidak ada hubungannya dengan protes, ini merupakan aksi kriminal, dan kami akan memperlakukannya seperti itu,” tegasnya seperti dilansir BBC.

Kericuhan di Belanda memang tak terlepas dari beredarnya teori konspirasi di media sosial tentang ‘Great Reset’. Mereka berasumsi pandemi ini hanya alat yang digunakan oleh elite untuk mereorganisasi komunitas dan ekonomi global untuk keuntungan para elite dan mengorbankan rakyat biasa.  Kalangan anak-anak muda yang percaya kebebasannya diganggu bergerak turun ke jalan.

Belanda telah melakukan sejumlah pembatasan sejak 2020 lalu. Sekolah dan toko yang tak penting di Belanda ditutup selama lebih dari sebulan. Bar dan restoran bahkan telah terlebih dahulu ditangguhkan operasinya sejak pertengahan Oktober.

Total kasus Covid di Belanda hingga 13 Februari 2021 telah mencapai 1,03 juta jiwa. Adapun angka kematian mencapai 14.793 kasus. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah seiring dengan pandemi Covid yang belum selesai.

Di dunia angka COVID-19 telah melebihi 109 juta kasus dengan tingkat kematian mencapai 2,4 juta jiwa. Semua pemerintah di dunia kini berharap vaksinasi dapat segera dilakukan secara cepat dan merata. Di sisi lain pembatasan gerak, pengetesan dan pelacakan massal dilakukan agar wabah bisa dikendalikan. Warga dunia juga diimbau untuk tetap mengenakan masker dan mengikuti beragam protokol kesehatan lainnya. (Redaksi)

Baca selengkapnya Edisi 3 GPR News di: http://www.gprnews.id/books/pwyp

Atau download majalahnya di: https://k-cloud.kominfo.go.id/s/eZMc4LmAod2zRit