Pengelolaan Rumah Aman Butuh Ketelitian

:


Oleh Yudi Rahmat, Selasa, 20 Februari 2018 | 23:21 WIB - Redaktur: Juli - 410


Jakarta, InfoPublik - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan tidak mudah menempatkan seseorang di rumah aman (safe house). Jika proses hukumnya keliru, terancam dilaporkan atas tuduhan penculikan atau penyekapan.

Menurut Semendawai, dalam kasus anak yang akan ditempatkan di rumah aman, harus benar-benar memerhatikan proses hukum. Apalagi, terhadap anak yang masih memiliki orang tua dan hak asuh.

“Orang tua dapat meminta polisi untuk memerkarakan pihak-pihak yang membawa anaknya,” ujar Semendawai saat menerima kunjungan Kepala UPT P2TP2A Provinsi DKI Jakarta Silvia dan jajarannya di kantor LPSK, Jakarta, Selasa (20/2), membahas rencana UPT P2TP2A DKI Jakarta yang akan membentuk rumah aman bagi perempuan dan anak.

Semendawai menuturkan, dalam menempatkan saksi dan korban di rumah aman, atau dengan kata lain memberikan mereka perlindungan, LPSK memiliki sejumlah persyaratan, antara lain proses pidana yang melibatkan saksi dan korban tersebut sudah dimulai. Jadi, LPSK tidak serta-merta dapat melindungi saksi dan korban. “Harus ada landasan hukum yang kuat untuk menghindari kesalahpahaman atau dilaporkan balik,” katanya.

Rumah aman LPSK, kata dia, terbagi yang permanen dan juga mobile. Rumah aman yang dikelola beragam, mulai yang tingkat ancamannya rendah, sedang maupun tinggi. Selain LPSK, calon terlindung juga harus menaati persyaratan dengan diatur kemudian dalam surat perjanjian antara LPSK dan terlindung.

“Kewenangan LPSK mengelola rumah aman diatur dalam undang-undang dan hanya LPSK yang diberikan kewenangan tersebut,” ujar dia.

Kepala UPT P2TP2A DKI Jakarta Silvia mengatakan, saat ini P2TP2A sudah menjadi UPT dan masuk dalam struktur perangkat daerah. Salah satu dari lima layanan yang diberikan P2TP2A adalah rujukan ke rumah aman. Terkait itulah, pihaknya mencoba membangun komunikasi dengan LPSK tentang bagaimana mengelola rumah aman. “Perda (DKI Jakarta) Nomor 8 Tahun 2011 menyebutkan pemda dapat membentuk rumah aman,” tutur dia.

Pemprov DKI Jakarta, lanjut Silvia, sebenarnya sudah menganggarkan biaya pembentukan rumah aman. Namun, karena belum direalisasikan, anggaran tersebut kembali ke kas daerah. Saat ini, juga tengah disusun peraturan gubernur yang khusus mengatur tentang rumah aman.

“Sejak tiga tahun terakhir, tercatat 128 korban yang dirujuk, terdiri atas 43 orang tahun 2015), 21 orang tahun 2016 dan 64 orang tahun 2017,” ujarnya.