Aktivitas Gunung Agung Terkini

:


Oleh Irvina Falah, Sabtu, 21 Oktober 2017 | 21:21 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 525


Perlu dipahami bersama bahwa indikasi peningkatan aktivitas Gunung Agung sebetulnya sudah teramati sejak lama dan bukanlah proses yang singkat. Berikut disampaikan timeline dinamika aktivitas Gunung Agung berdasarkan data pengamatan hingga hari ini 21 Oktober 2017:

Sejarah aktivitas:
⁃ Dalam sejarahnya, Gunung Agung pernah mengalami letusan setidaknya 5 kali (3 kali letusan dengan VEI 5 dan 2 kali letusan dengan VEI 2).
⁃ Berdasarkan pengalaman letusan 1963, jarak antara letusan pembuka ke landaan Awan Panas adalah 2 hari, dimana saat itu Awan Panas melanda hingga jarak 8 km dari puncak. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah letusan pembuka, letusan lebih besar dapat terjadi dengan singkat.

Visual:
- Secara visual, kondisi kawah Gunung Agung telah berubah secara signifikan pada periode krisis ini. Dalam kondisi normal, kawah Gunung Agung tidak mengeluarkan asap. Pada periode krisis ini asap telah teramati. Intensitas asap teramati meningkat pada periode Level IV (Awas).

Ketinggian hembusan asap maksimum teramati pada tanggal 7 Oktober 2017 pada pukul 20:30 WITA yaitu setinggi 1500 m di atas puncak. Ini adalah asap tertinggi yang pernah teramati dalam periode krisis ini. Saat ini asap teramati dengan ketinggian berkisar 100-500 m di atas puncak.

- Citra satelit menunjukkan terbentuknya area panas baru di permukaan kawah bagian Timurlaut maupun di tengah Kawah dimana area panas tersebut mengalami perluasan yang signifikan pada periode Level IV (Awas). Area panas yang dimaksud berupa tembusan-tembusan dimana gas dan asap keluar.

- Citra satelit juga mengamati adanya air yang keluar secara menerus ke luar permukaan kawah. Hal ini mengindikasikan adanya gangguan hidrologis di dalam tubuh Gunung Agung akibat pergerakan magma yang masif (banyak).

Jumlah Gempa:
- Sebelum krisis 2017, kegempaan vulkanik Gunung Agung umumnya nihil. Dalam satu bulan dapat tidak terekam satu pun gempa vulkanik.
- Anomali kegempaan teramati mulai pada Mei 2017 dimana terekam rentetan gempa tektonik yang berlokasi di sekitar 50 km di arah Baratlaut Gunung Agung. Gempa mpa ini dapat dirasakan oleh beberapa masyarakat di wilayah Tejakula.
- Anomali kegempaan vulkanik mulai teramati pada bulan Agustus 2017 dimana kegempaan vulkanik mulai rutin teramati dan mengalami peningkatan secara konsisten dan linier. Pada 14 September 2017 terekam 13 kali Gempa Vulkanik. Oleh karena itu, pada 14 September 2017 status Gunung Agung dinaikkan dari Level I (Normal) menjadi
Level II (Waspada).
- Pasca dinaikkan menjadi Waspada, kegempaan vulkanik Gunung Agung mengalami peningkatan eksponensial, dan pada 18 September 2017 jumlahnya mencapai 366 kali. Oleh karena itu, statusnya kembali dinaikkan menjadi Level III (Siaga).
- Pasca dinaikkan menjadi Siaga, kegempaan vulkanik Gunung Agung kembali mengalami akselerasi yaitu berupa peningkatan secara eksponensial dan pada 22 September 2017 jumlahnya mencapai 720 gempa perhari sehingga statusnya kembali dinaikkan menjadi Level IV (Awas).
- Setelah dinaikkan menjadi Level IV (Awas), kegempaan vulkanik Gunung Agung belum lagi mengalami akselerasi namun jumlahnya tertahan di level yang tinggi dimana kegempaan vulkanik per hari berfluktuasi di antara 500-1000an.
- Sejak kemarin (20 September 2017), kegempaan vulkanik mengalami penurunan yang cukup dramatis yaitu ‘hanya’ 379 gempa per hari. Pada hari ini dalam periode pukul 00.00-06:00 WITA terekam 96 kali gempa vulkanik.
- Jumlah gempa vulkanik yang terekam selama periode krisis mencapai Amplitudo Gempa (RSAM):
- Status Level IV (Awas) ditetapkan saat Gunung Agung mengalami percepatan amplitudo seismik secara eksponensial.
- Pasca dinaikkan menjadi Awas, grafik RSAM secara umum menunjukkan trend penurunan meskipun beberapa kali mengalami fluktuasi naik dan turun.
- Penurunan amplitudo RSAM tidak dapat diinterpretasi bahwa aktivitas vulkanik telah menurun. Amplitudo seismik sangat bergantung pada besarnya magnitudo gempa terhadap waktu. Pada periode Siaga, gempa-gempa didominasi oleh proses pembukaan celah/jalur pergerakan fluida magma ke permukaan. Dalam periode Awas, gempa-gempa besar ini sedikit demi sedikit berkurang seiring dengan telah berkurangnya gaya gesek (friksi) antara magma dengan dinding yang dilewatinya atau dalam kata lain karena semakin terbukanya celah/jalur magma menuju ke permukaan.

Magnitudo Gempa:
- Magnitudo gempa-gempa yang terjadi dan terekam di stasiun seismik Gunung Agung selama periode krisis terus dianalisis dan dikuantifikasi untuk mengestimasi volume magma yang berintrusi (bergerak). Sampai saat ini, setidaknya sudah lebih dari 18 juta meter kubik magma yang bergerak di kedalaman menuju ke permukaan. Volume ini tidak merefleksikan volume total dari magma yang berpotensi dikeluarkan. Jika meletus, volumenya dapat lebih besar dari volume estimasi ini.

Seismic Velocity:
- Sifat cepat rambat gelombang di dalam tubuh Gunung Agung dianalisis melalui metode Ambient Noise Cross Correlation secara kontinyu untuk mengestimasi dinamika stress/ tekanan di dalam tubuh Gunung Agung.
- Hasil analisis seismic velocity menunjukkan bahwa pada periode krisis ini telah terjadi peningkatan stress/tekanan di dalam tubuh Gunung Agung akibat influx fluida magmatik. Fluida ini telah mengakibatkan perluasan zona hancuran di dalam tubuh Gunung Agung.

Deformasi (GPS, Tiltmeter & Satelit):
- Pada periode Mei 2007 hingga Februari 2009, satelit InSAR merekam inflasi Gunung Agung dengan uplift sekitar 15 cm. Proses inflasi ini tidak disertai peningkatan kegempaan yang signifikan, erupsi juga tidak terjadi. Pasca Februari 2009 hingga 2011 teramati deflasi sebesar 5 cm.
- Sejak 2012, PVMBG mengamati aktivitas Gunung Agung dengan 5 unit GPS kontinyu. Dari tahun 2012 hingga saat ini, dinamika inflasi (penggembungan) dan deflasi (deflasi) Gunung Agung dapat teramati melalui GPS ini. Selain GPS, terdapat juga 2 Tiltmeter di lereng Utara dan Selatan Gunung Agung.
- Deformasi signifikan teramati GPS pada tahun 2017, yaitu inflasi pada periode Februari-April dan inflasi selanjutnya yaitu pada periode Agustus-September. Kedua periode ini bersifat sequential, yaitu mengindikasikan proses magmatik dimana terindikasi adanya peningkatan stress/tekanan akibat pergerakan magma di reservoir yang dalam (hingga belasan kilometer).
- Di pertengahan September 2017, GPS mengindikasikan bahwa Gunung Agung mengalami deflasi untuk reservoir yang dalam namun inflasi pada reservoir yang dangkal (~5 km). Stasiun GPS di Pegubengan dan Cegi merekam adanya inflasi berupa uplift sebesar ~6 cm dalam waktu 1 bulan terakhir.
- Tiltmeter menunjukkan dinamika inflasi-deflasi selama periode krisis ini. Secara umum Tiltmeter menunjukkan indikasi inflasi (penggembungan), namun demikian, beberapa peristiwa penting seperti hembusan asap 1500 m di atas Puncak Gunung Agung pada 7 Oktober 2017 lalu berkontribusi pada deflasi (pengempisan) yang merefleksikan
pengurangan tekanan di dalam tubuh Gunung Agung. Saat ini tiltmeter masih mengindikasikan adanya inflasi di tubuh Gunung Agung.
- Analisis terbaru citra satelit InSAR mengkonfirmasi hasil pengukuran GPS maupun Tiltmeter dimana hasil analisis terakhir menunjukkan bahwa pada periode September-Oktober 2017 telah terjadi inflasi di area puncak Gunung Agung sekitar ~6 cm. 

Geokimia (DOAS & MultiGas):
- Hasil pengukuran gas Gunung Agung dengan metode Differential optical absorption spectroscopy (DOAS) pada jarak 12 km dan 3.5 km dari puncak tidak mendeteksi adanya kadar SO2 yang tinggi. Namun hal ini tidak dapat diinterpretasikan sebagai rendahnya aktivitas magmatik. Konsentrasi SO2 kemungkinan berada di bawah batas kemampuan peralatan untuk mendeteksi pada jarak sejauh ini atau kemungkinan tidak terdeteksi karena SO2 berinteraksi dan terlarut dalam air. Hal lain yang dapat menyebabkan tidak terdeteksinya Gas SO2 adalah jika sistem dalam keadaan tertutup (Closed system).

- Asap putih yang keluar dari kawah Gunung Agung sangat berpotensi disertai dengan keluarnya gas-gas magmatik (CO2, SO2, dll). Jika konsentrasinya tinggi, gas-gas ini dapat tercium menyengat (bau belerang) dan dapat membahayakan keselamatan bagi yang menghirupnya. Namun demikian, paparan gas saat ini kemungkinan hanya
berada di sekitar kawah. Gas-gas ini akan dengan mudah tertiup dan tercacah oleh angin sehingga konsentrasinya akan menjadi lebih rendah atau bahkan nihil pada jarak yang jauh.

- Hasil pengukuran gas Gunung Batur dengan metode MultiGas mengindikasikan belum adanya indikasi suplai magma baru ke Gunung Batur. Hingga hari ini belum teramati indikasi terpengaruhnya aktivitas vulkanik Gunung Batur akibat peningkatan aktivitas Gunung Agung.

Kesimpulan:
- Status gunungapi ditetapkan melalui analisis komprehensif dari berbagai metode termasuk Seismik, Deformasi, Geokimia hingga Penginderaan Jauh Satelit, tidak dapat disimpulkan melalui satu parameter saja.
- Hasil analisis terakhir mengindikasikan bahwa aktivitas Gunung Agung masih tinggi sehingga statusnya sampai hari ini adalah tetap di Level IV (Awas).
- Masyarakat dan instansi terkait agar bersabar karena pada dasarnya status gunungapi itu ditentukan oleh aktivitas gunungnya sendiri.

Tim Tanggap Darurat PVMBG