Bijak Menyusun Panduan Rumah Ibadah dan Pesantren

:


Oleh Kristantyo Wisnubroto, Sabtu, 30 Mei 2020 | 09:29 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 776


Jakarta, InfoPublik - Hampir tiga bulan semenjak pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merebak sesuai aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), untuk memutus mata rantai penularan virus, maka selain bekerja dan belajar di rumah, masyarakat pun beribadah di rumah. Umat muslim salat kini berjamaah di rumah tidak lagi di masjid, umat kristiani menggelar khotbah virtual di rumah masing-masing pun umat beragama lainnya.

Ketika pemerintah menyiapkan kebijakan relaksasi PSBB, maka masyarakat menginginkan agar tempat ibadah juga segara difungsikan seperti sedia kala dalam melayani umat.

Oleh karena itu, Kementerian Agama (Kemenag) menyiapkan revitalisasi fungsi rumah ibadah pada tatanan normal baru. Hal tersebut diungkapkan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, usai Rapat Terbatas Kabinet, Rabu (27/05/2020).

"Presiden telah menyatakan tentang new normal, tatanan baru ini. Maka semua bidang menyesuaikan dengan ini," ujar Menag Fachrul Razi.

Demikian juga Kemenag, Fachrul Razi sampaikan akan membuat konsep umum adalah secara bertahap kegiatan di rumah ibadah dibuka kembali dengan tetap menaati prosedur standar tatanan baru New Normal yang telah dinyatakan oleh Presiden pada tanggal 15 Mei 2020 yang lalu.

Secara gamblang, Menag menerangkan mengaktifkan kembali tempat ibadah sebagai jawaban kerinduan umat dalam beraktivitas di rumah ibadah. Beribadah secara jamaah, menurut Islam, tentu meningkatkan perolehan pahala yang dilakukan umat dibandingkan di rumah atau sendiri.

Menag menerangkan kebijakan ini sebagai menguatkan upaya spiritual di samping tetap mendayagunakan upaya lahir di saat pandemi Covid-19.

Dari pembahasan di ratas maupun internal Kemenag, menurut Menag, ada beberapa hal yang prinsip dalam aturan tersebut.

"Itu hanya boleh (dilakukan) di rumah ibadah yang relatif aman dari Covid-19 dan direkomendasi oleh camat atau bupati/wali kota sesuai level rumah ibadah-ibadah tersebut," ujar Fachrul Razi.

Rekomendasi oleh Camat menjadi penting karena kalau bupati atau gubernur terlalu jauh di atas sehingga kadang-kadang mungkin ada tempat-tempat yang memang sebetulnya aman sama sekali tapi oleh mereka mungkin bisa digeneralisasikan seolah-olah belum aman.

"Karena memang secara provinsi mungkin belum aman, secara kabupaten belum aman. Tinggal kewenangan itu kami sarankan atau kami imbau untuk diambil oleh tingkat kecamatan saja,"jelasnya.

Jadi, lanjut Menag, forum komunikasi pimpinan kecamatan yang mempelajari validitas dari yang diajukan oleh kepala-kepala desa.

"Dilihat kalau bisa, kemudian kalau memang betul-betul ancaman Covid-19 nya rendah, penularannya rendah, setelah ditinjau oke, camat mengeluarkan izin dengan sebelumnya konsultasi dulu kepada bupati," katanya.

Konsultasi ke Bupati/Wali Kota, menurut Menag, tetap diperlukan karena yang tahu tentang status new normal secara keseluruhan utamanya tentang reproduction number (R0) atau effective reproduction number (Rt) yang tahu ya tingkat kabupaten ke atas atau yang sangat paham.

"Sehingga pada saat pengajuan dari kepala desa dipelajari oleh forum komunikasi pimpinan tingkat kecamatan, dikonsultasikan dengan kabupaten, kemudian mereka mengeluarkan izinnya," imbuh mantan Wakil Panglima TNI tersebut.

Izin ini, menurut Menag Fachrul Razi, akan direvisi setiap bulan, bisa jumlahnya bertambah, bisa juga berkurang.

"Kalau setelah dikasih izin ternyata Covid-19 nya meningkat atau penularannya meningkat ya akan dicabut. Jadi betul-betul kita buat sangat fair sekali. Sangat-sangat fair," imbuh Menag.

Untuk itu, Menag telah mendiskusikan hal ini dengan Dirjen Bimas seluruh agama di Kemenag. "Ada rapat khusus Kementerian Agama yang mudah-mudahan setelah itu mudah-mudahan dalam minggu ini sudah bisa kami terbitkan," ungkap Fachrul Razi.

Tentu saja, sambung Menteri Fachrul, di dalamnya akan dibuat banyak poin-poin tentang protokol kesehatan, kalau disebutkan terlalu banyak mungkin, lebih baik nanti saja setelah diterbitkan. Tak lupa protokol ini juga melibatkan unsur aparat pemerintah lainnya serta organisasi keagamaan.

Sejumlah daerah sudah mulai membuat protokol beribadah khususnya di masjid/musala/langgar seperti wajib mengenakan masker, pembatasan jumlah jemaah, membawa perangkat salat sendiri, cuci tangan dengan hand sanitizer, pengecekan thermogun, jemaah yang demam/batuk/pilek diminta ibadah di rumah, dan kultum/khotbah disampaikan secara singkat.

Protokol Pesantren

Selain mengatur tempat ibadah, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama bersama Direktorat Promosi Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan menyusun protokol kesehatan yang bisa diterapkan di pondok pesantren.

Penyusunan protokol kesehatan ini untuk menyikapi tahun ajaran baru di pondok pesantren yang biasanya dimulai pada bulan Syawal atau Juli ini.

Plt. Direktur PD Pontren, Imam Safe’i, mengatakan bahwa apa yang dilakukan Kementerian Agama semata-mata agar semua keluarga besar pondok pesantren terhindar dari wabah Covid-19. Protokol kesehatan bagi pesantren ini sangat penting mengingat kondisi pesantren yang sangat rentan dengan persebaran virus ini.

Dikatakan Imam, fasilitas pesantren yang kurang memadai dibanding jumlah santri yang tinggal di pesantren sangat rentan dengan persebaran virus. "Sebelum terjadi, kita lebih baik melakukan tindakan preventif. Ini semata-mata untuk kebaikan pesantren dan kita semua," terang Imam di Jakarta, Kamis (28/05/2020).

Imam menceritakan fasilitas MCK pesantren dan tempat tidur santri yang masih sangat kurang. "Bagi santri, semua tempat di pesantren bisa digunakan sebagai tempat tidur karena kamar-kamar yang ada memang tidak memadai. Ada yang di masjid, musholla, perpustakaan, dan lainnya," terangnya.

Menurut Imam, protokol kesehatan ini untuk melindungi warga pesantren. "Ini bukan anjuran atau larangan bagi pesantren dalam melangsungkan pembelajaran. Tapi jika pesantren ingin melanjutkan proses pembelajaran, sementara vaksinnya juga belum ditemukan, maka pesantren sebaiknya mengikuti protokol kesehatan ini. Ini otoritatif karena standar ini dikeluarkan dari Kementerian Kesehatan" ujarnya.

Karena itu Imam sangat senang dengan langkah Kementerian Kesehatan yang mengajak Kementerian Agama dalam menyiapkan protokol kesehatan di pesantren.

Senada dengan Imam, Direktur Promosi Kesehatan Masyarakat Kemenkes, dr. Riskiyana Sukandi Putra menyampaikan ini adalah langkah tepat karena ketidakseimbangan antara jumlah santri dengan fasilitas pesantren sangat rentan dengan penularan virus.

Menurutnya, pesantren perlu melakukan pencegahan sejak dini karena sampai hari ini vaksinnya belum ditemukan. "Dalam waktu dekat vaksin Covid-19 mungkin belum akan ditemukan. Paling cepat bisa delapan atau 20 bulan ke depan baru akan ditemukan," terangnya.

"Karena vaksinnya belum ditemukan, maka yang harus kita lakukan adalah membuat vaksin alamiah, yaitu dengan cara memperkuat imunitas tubuh," imbuhnya.

Riski menuturkan, bahwa cara memperkuat imuntas tubuh salah satunya adalah dengan mengonsumsi makanan bergizi.

Protokol kesehatan ini dalam waktu dekat menurut Imam Safe’i akan segera disosialisasikan ke seluruh pesantren di Indonesia. (agm/Foto: ANTARA FOTO/M N Kanwa)