Perppu Cipta Kerja untuk Selamatkan Putusan MK

:


Oleh Eko Budiono, Sabtu, 7 Januari 2023 | 20:30 WIB - Redaktur: Untung S - 568


Jakarta, InfoPublik - Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Cipta Kerja,  bertujuan untuk menyelamatkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan mempertahankan UU Cipta Kerja.
 
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Profesor Aidul Fitriciada Azhari, dalam dalam diskusi Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja, Sabtu (7/1/2023).

Profesor Aidul menuturkan,  pertimbangan hukum dari putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 yakni mahkamah menentukan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan secara inkonstitusional secara bersyarat.
 
"Dikarenakan mahkamah harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan," kata Prof Aidul.

Kemudian, Mahkamah Konstitusi kata dia di samping itu juga harus mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya undang-undang tersebut.

"Saya rasa (Perppu) menyelamatkan Undang-undang Cipta Kerja karena sudah diamanatkan oleh keputusan MK yaitu perbaikan selama 2 tahun untuk mempertahankan nilai-nilai strategis, tujuan strategis dari Undang-undang Ciptaker itu," katanya.

Prof Aidul mengatakan, sebenarnya Undang-undang Cipta Kerja merupakan amanat MK sendiri.
 
Hanya saja, UU tersebut harus memenuhi syarat pembentukan undang-undang dan hal itu harus dipenuhi usai terbitnya putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 yakni dengan memperbaiki dari UU tersebut.

"Nah permasalahannya DPR belum menunjukkan kinerja untuk menyelesaikan kewajiban membuat memperbaiki Undang-undang Cipta Kerja ini. Dan itu diambil alih oleh presiden," katanya.

Langkah yang diambil Presiden Jokowi itu, menurut Prof Aidul, lebih baik jika dibandingkan membiarkan proses berjalan begitu saja tanpa kejelasan dari DPR.

"Sementara situasi DPR juga menghadapi tahun politik yang membuat pecah konsentrasi antara pemilu dan kewajiban legislatifnya, maka tidak ada pilihan, bagi Pak Jokowi untuk membuat perppu ini," ujarnya.
 
Substansi UU Cipta Kerja yang diubah dalam Perppu Cipta Kerja, khususnya terkait substansi ketenagakerjaan yakni : 
 
1. Ketentuan alih daya atau outsourcing (pasal 64)
 
Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur mengenai pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Hal ini dimaknai bahwa pelaksanaan alih daya dapat dilakukan atau terbuka untuk semua jenis pekerjaan dalam suatu proses produksi.Sedangkan Perppu Cipta Kerja mengatur alih daya dibatasi hanya dapat dilakukan untuk sebagian pelaksanaan pekerjaan. Hal ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh pemerintah dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021.
 
2. Ketentuan Upah Minimum (pasal 88C, 88D, dan pasal 88F)Penegasan syarat penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK). UMKM dapat ditetapkan bila hasil penghitungannya lebih tinggi dari upah minimum provinsi.Sementara itu, bagi kabupaten/kota yang belum mempunyai UMKM dan akan menetapkan UMK, harus memenuhi syarat tertentu yang diatur dalam PP.Perubahan formula perhitungan upah minimum. Formula perhitungan upah minimum mempertimbangkan tiga variabel yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Formula ini lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah.Kewenangan pemerintah menetapkan formula penghitungan upah minimum berbeda, dalam hal terjadi keadaan tertentu. Ketentuan ini merupakan ketentuan baru yang dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, guna mengantisipasi keadaan tertentu yang berdampak pada kelangsungan bekerja dan kelangsungan usaha.
 
Misalnya dalam hal terjadi bencana yang ditetapkan oleh presiden, kondisi luar biasa perekonomian global dan/nasional seperti bencana non-alam pandemi.
 
3. Perubahan frasa cacat menjadi disabilitas
 
Pada pasal 67, perubahan frasa penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas, di mana pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat disabilitas.
 
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Profesor Aidul Fitriciada Azhari. Foto: ANTARA