Peneliti KJ Institute: Tidak Ada Kudeta Konstitusional dalam Perppu Cipta Kerja

:


Oleh Eko Budiono, Sabtu, 7 Januari 2023 | 17:44 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 945


Jakarta, InfoPublik  - Presiden Joko Widodo pada Jumat (30/12/2022), menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Penerbitan Perppu yang merupakan pengganti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ini pun kemudian menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.

Menanggapi hal tersebut, Peneliti Kolegium Jurist (KJ) Institute, Luthfi Marfungah, melalui siaran persnya  menyampaikan bahwa diterbitkannya Perppu Cipta Kerja bukanlah sesuatu yang diharamkan.

Menurut Luthfi, keperluan menerbitkan Perppu selain dijamin dalam UUD 1945, kebutuhan adanya kepastian hukum pasca Putusan MK No 91 tahun 2020 telah melahirkan keputusan yang disertai adanya tenggat waktu.

Lutfhi menegaskan, apabila dikaitkan dengan masa kepemimpinan presiden, Perppu menjadi opsi yang secara rasional selain juga konstitusional.

“Saya menilai Perppu itu sebagai jalan keluar sebelum selesainya semua masalah Undang-undang Cipta Kerja,” tegas Luthfi Marfungah.

Selama waktu perbaikan UU Cipta Kerja, katanya, tidak boleh ada kekosongan hukum demi menjaga stabilitas perekonomian.

“Dalam rangka memperbaiki hal tersebut, alangkah bijak untuk mengantisipasi stagnansi, sehingga kevakuman bisa dihindari agar iklim perekonomian terjaga,” ujar Luthfi.

“Dengan demikian, jalan keluar dibentuknya Perppu adalah untuk menanggulangi situasi dan keadaan. Pilihan itu adalah pilihan yang rasional dan konstitusional,” jelasnya.

Pihaknya juga menuturkan tidak ada kudeta konstitusional dalam Perppu Cipta Kerja.

“Perppu Cipta Kerja telah sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan Putusan MK 138/PUU-VII/2009 sehingga tidak ada kudeta konstitusional dalam penetapan Perppu Cipta Kerja,” tegas Luthfi Marfungah.

Ia  menuturkan, di tengah kondisi global yang bergejolak dan keterbatasan ruang gerak dari kebijakan makro, penguatan fundamental ekonomi domestik untuk menjaga daya saing ekonomi domestik harus menjadi prioritas utama.

“Stabilitas kekuatan permintaan domestik, terutama konsumsi privat dan investasi di tengah meningkatnya tekanan harga dan terpuruknya pertumbuhan global, sangat bergantung pada kemampuan Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik pasar domestik bagi investor,” kata Luthfi.

Ia menilai pelaksanaan reformasi struktural yang komprehensif yang dimuat dalam Perppu Cipta Kerja menjadi sangat penting dan urgen.

Lebih jauh mengenai meaning participation, Peneliti asal Kolegium Jurist Institute menyatakan pembentukan Perppu Cipta Kerja telah mencangkup 3 (tiga) komponen hak.

“Pembentukan Perppu Cipta Kerja telah memenuhi meaningful participation yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained),” kata Luthfi.

Sebagai informasi, MK melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021 menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker cacat formil dan inskonstitusional bersyarat sehingga perlu diperbaiki.

Dalam putusan yang berisi 448 halaman tersebut, MK memerintahkan kepada pembentuk UU Ciptaker untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.

Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional secara permanen. 

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Satya Arinanto menyatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Cipta Kerja merupakan sesuatu yang konstitusional.

"Berdasarkan berbagai teori HTN Darurat dan hukum positif yang mengatur mengenai kedaruratan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 adalah konstitusional," kata dia dalam diskusi "Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja" di Jakarta, Sabtu (7/1/2023)

Dengan demikian, lanjut Satya, tentunya tidak ada kudeta konstitusional dalam pemberlakuan Perppu Cipta Kerja.

Satya menuturkan, Perppu Cipta Kerja itu dinilai konstitusional merujuk Undang-Undang 1945, teori hukum tata negara (HTN) darurat, dan Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009.

"Pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu pasal yang masih asli, dalam arti tidak ikut mengalami perubahan dalam proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi (1999-2002)," kata Satya.

Menurut Satya, dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut dinyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Kemudian, kata dia, jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Lebih lanjut, Satya menegaskan parameter kegentingan memaksa yang bisa menjadi dasar dalam penerbitan Perppu yakni. Dia mengatakan menurut Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009 yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.

UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada.

"Terjadinya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," ujarnya.

Presiden Joko Widodo, kata dia, pada 30 Desember 2022 yang lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker).

Penerbitan Perppu tersebut melahirkan beberapa pro dan kontra dan juga hoaks yang beredar secara viral melalui berbagai grup WA. Disamping itu, pro dan kontra tersebut juga diramaikan oleh media massa.

Dia mengatakan dari pantauan awal terlihat bahwa salah satu akar dari timbulnya pro dan kontra tersebut adalah karena belum semua pihak membaca naskah Perppu tersebut secara lengkap.

"Kalaupun sudah membaca baik secara lengkap maupun sepintas, salah satu fokus yang langsung disoroti adalah mengenai aspek 'kegentingan yang memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945," katanya.

Profesor Satya Arinanto. Foto: You Tube