KUHP Harus Dibangun dari Sistem Nilai Bangsa

:


Oleh Jhon Rico, Kamis, 3 November 2022 | 22:29 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 479


Jember, InfoPublik - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) akan segera disahkan. Artinya, KUHP warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang masih dipakai saat ini, akan segera berganti.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Dr. Pujiyono, menyatakan bahwa KUHP pada suatu bangsa harus dibangun dari sistem bangsa itu sendiri.

"Harus kita pahami bahwa KUHP suatu bangsa itu mencerminkan sistem nilai dari bangsa itu sendiri," kata Prof. Dr. Pujiyono dalam acara webinar Sosialisasi RUU KUHP yang digelar Kominfo di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (3/11/2022).

Hal ini dikarenakan, secara dasolen yang seharusnya mengatur realitas sosial dalam kontek hubungan interaksi antar manusia di suatu wilayah.

Artinya, Undang- Undang KUHP itu dibangun mereflesikan dari sistem nilai bangsa tersebut.

Berkaitan dengan hal itu, Prof Pujiyono menjelaskan, terdapat pasal baru di dalam RUU KUHP yang tidak ada di KUHP saat ini yakni mengenai kohabitasi atau kumpul kebo.

Kohabitasi adalah dua orang lawan jenis yang tinggal satu atap di luar ikatan pernikahan. RUU KUHP mengancam pidana bagi seseorang yang melakukan kohabitasi.

"Konteks orang Belanda, itu bukan tindak pidana. Tapi coba untuk masyarakat Indonesia?," tanya dia.

Kohabitasi adalah dua orang lawan jenis yang tinggal satu atap di luar ikatan pernikahan.

Ia menyontohkan kasus kohabitasi yang baru-baru ini terjadi di wilayah Boyolali. Tindakan masyarakat yang menggerebek pasangan di luar nikah tersebut menandakan bahwa pola interaksi sosial masyarakat seperti itu tidak bisa dibenarkan menurut sistem nilai masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, dalam rangka mengaktualisasi sistem di Indonesia, maka dimunculkanlah kriminalisasi mengenai kohabitasi.

Pasal kohabitasi diatur dalam Pasal 416. Ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".

Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan, atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

Prof. Dr. Pujiyono menyatakan ada beberapa alasan dilakukan pembaruan di RUU KUHP.

Salah satunya adalah, berdasarkan pasal 6 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1946, dikatakan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie yang disebut juga KUHP.

Artinya, terang dia, bahwa KUHP yang kita gunakan resminya adalah bahasa Belanda yang dapat menimbulkan kesulitan- kesulitan di dalam prakteknya.

"Sedangkan sekarang yang memiliki kemampuan bahasa Belanda sudah semakin langka. Bagaimana kemudian kita mengimplementasikan Undang- Undang yang berbahasa Belanda itu. Ini akan menimbulkan kesulitan- kesulitan dalam praktek," jelas dia.

Tak kalah penting alasan yang lain adalah berkaitan dengan hal substansial.

Sedangkan misinya adalah melepaskan kolonialiasasi. Dimana selama ini kita didokrin hukum- hukum pidana Belanda yang berbeda di dalam teori, praktek maupun perkembangan.

Foto: Jhon InfoPublik