Atasi Tantangan Global, Menlu RI Serukan Paradigma Baru

:


Oleh Eko Budiono, Selasa, 27 September 2022 | 09:19 WIB - Redaktur: Untung S - 220


Jakarta, InfoPublik - Indonesia menawarkan paradigma baru untuk mengatasi tantangan global akibat pandemi yang berkepanjangan, perang, serta krisis pangan dan energi.

Paradigma win-win, bukan zero-sum. Paradigma merangkul, bukan mempengaruhi (containment). Paradigma kolaborasi, bukan kompetisi. 

Hal tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dalam pembukaan pidatonya dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangs-Bangsa ke-77 di New York, Amerika Serikat, Senin (26/9/2022).

Menurut Menlu Retno, paradigma baru itu diperlukan karena tiga alasan, yang pertama untuk menyalakan kembali spirit perdamaian.

"Kurangnya kepercayaan antar-negara (trust deficit) memicu kebencian dan ketakutan, sehingga dapat berujung pada konflik. Hal itu terjadi di berbagai belahan dunia. Untuk itu, trust deficit harus diubah menjadi kepercayaan strategis (strategic trust)," kata Menlu Retno.

Menlu Retno menyatakan, prinsip kedaulatan dan integritas wilayah tidak bisa ditawar.

"Prinsip-prinsip itu harus senantiasa ditegakkan. Penyelesaian masalah secara damai harus menjadi satu-satunya solusi untuk setiap konflik," katanya.

Paradigma baru ini harus diterapkan untuk membuat terobosan dalam mengatasi isu Palestina dan Afghanistan.

"Indonesia akan terus bersama Palestina dalam perjuangkan kemerdekaannya, sedangkan untuk Afghanistan Indonesia berkomitmen membantu memperjuangkan hak dan akses pendidikan bagi perempuan di Afghanistan," urainya.

Alasan kedua, kata Menlu Retno, untuk membangkitkan tanggung jawab  terhadap pemulihan global.

"Saat ini, solidaritas global semakin menyurut. Diskriminasi perdagangan terjadi di mana-mana, demikian juga dengan monopoli rantai pasok global. Tata kelola ekonomi global dimanfaatkan untuk kepentingan negara kuat," katanya.

Menurut Menlu Retno, dunia menaruh harapan kepada G20.

“G20 tidak boleh gagal jadi katalis pemulihan dunia. Kita tidak boleh membiarkan pemulihan global “tersandera" oleh geopolitik".

Lebih lanjut, Menlu Retno menyatakan  paradigma baru juga dibutuhkan untuk mencapai Agenda Pembangunan 2030 dan memerangi perubahan iklim.

Sedangkan alasan ketiga, kata Menlu Retno, untuk  memperkuat kemitraan regional.

Menurutnya, arsitektur regional tidak semestinya digunakan untuk mengurung dan mengalienasi negara tertentu.

Arsitektur regional harus dapat mendukung upaya menjaga perdamaian dan stabilitas, bukan justru membahayakannya.

“ASEAN adalah contoh di mana paradigma kolaborasi selalu dikedepankan. Dengan semangat itulah, Indonesia akan memimpin ASEAN sebagai Ketua tahun depan. Indonesia berkomitmen untuk memperkuat persatuan dan sentralitas ASEAN agar ASEAN tetap penting bagi rakyat, kawasan, dan dunia," urainya.

ASEAN juga harus menyikapi dengan serius situasi di Myanmar. Indonesia sangat prihatin dengan kurangnya komitmen militer Myanmar dalam menerapkan Five-Point Consensus.

“ASEAN harus terus maju dan tidak tersandera oleh situasi di Myanmar. Dukungan dari komunitas internasional, khususnya negara-negara tetangga Myanmar, sangat penting untuk mengembalikan demokrasi di Myanmar," kata Retno.

Arsitektur regional harus dapat mendukung upaya menjaga perdamaian dan stabilitas, bukan justru membahayakannya.

“ASEAN adalah contoh di mana paradigma kolaborasi selalu dikedepankan. Dengan semangat itulah, Indonesia akan memimpin ASEAN sebagai Ketua tahun depan. Indonesia berkomitmen untuk memperkuat persatuan dan sentralitas ASEAN agar ASEAN tetap penting bagi rakyat, kawasan, dan dunia," ujarnya.

ASEAN juga harus menyikapi dengan serius situasi di Myanmar. Indonesia sangat prihatin dengan kurangnya komitmen militer Myanmar dalam menerapkan Five-Point Consensus. “ASEAN harus terus maju dan tidak tersandera oleh situasi di Myanmar. Dukungan dari komunitas internasional, khususnya negara-negara tetangga Myanmar, sangat penting untuk mengembalikan demokrasi di Myanmar,

Menlu Retno menegaskan bahwa paradigma kolaborasi harus menjadi spirit PBB. 

Pendekatan yang inklusif harus dikedepankan, di mana suara seluruh negara diperlakukan secara setara. “Suara setiap negara, besar maupun kecil, harus didengarkan di forum PBB. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi PBB dan pembaharuan multilateralisme agar sesuai dengan tuntutan zaman," tegasnya lagi.

“Saya percaya dengan bekerja bersama-sama dan mengadopsi paradigma baru, kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua. Sekarang bukan saatnya lagi kita hanya berbicara. Sekarang adalah saatnya bagi kita untuk melakukan apa yang kita sampaikan," tambahnya. 

Foto: Menlu RI Retno Marsudi pembukaan pidatonya di PBB, New York, Amerika Serikat, Senin (26/9/2022.kemlu.go.id).