Indonesia Posisikan Tiongkok sebagai Peluang dan Ancaman

:


Oleh Yudi Rahmat, Senin, 4 April 2022 | 16:30 WIB - Redaktur: Untung S - 201


Jakarta, InfoPublik - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), Andi Widjajanto,  menilai posisi Indonesia adalah prioritas tinggi bagi Amerika Serikat. Sementara bagi Tiongkok, Indonesia dinilainya berada pada prioritas menengah.

“Dalam bahasa gepolitik, geopolitical interest-nya Amerika Serikat lebih besar di Indonesia, daripada geopolitical interest-nya tiongkok,” katanya saat menjadi narasumber pada webinar “Kepemimpinan Indonesia di Tengah Rivalitas AS dan Tiongkok dan Proyeksi Tata Dunia Baru dalam Perspektif Geopolitik dan Keamanan” Senin (4/4/2022).

Menurut Andi, kepentingan geopolitik Tiongkok secara global masih ada di Asia Timur. “Gepolitik Tiongkok cenderung bergerak ke arah samudera timur yang mengarah ke Jibouti, mengarah ke negara-negara di Asia Tengah,” ungkap Andi WIdjajanto.

Bagi AS, dari berbagai aspek, beberapa negara Asia Tenggara selain Indonesia, juga mendapatkan prioritas di antaranya Filipina, Singapura, dan Vietnam.

Pada kesempatan tersebut Gubernur Lemhannas mengungkapkan jika hubungan antara AS dan Tiongkok selama 73 tahun terakhir cenderung meningkat.

“Sepanjang 1949 hingga 2022, relasi antara AS dan Tiongkok cenderung bagus, hubungan keduanya berbentuk regresi linear, cenderung menaik dan membaik,” ungkap Gubernur Lemhannas.

Gubernur Lemhannas juga mencermati hubungan antara Indonesia dan Tiongkok yang dianggapnya berada dalam posisi ambigu. Dasarnya adalah Indonesia yang memposisikan negara Panda tersebut sebagai ancaman dan peluang.

”Alutsista Indonesia sebagian besar masih berada pada blok NATO. Persepsi Indonesia terhadap Tiongkok sebagai ancaman, tapi peluang kerja sama untuk mengembangkan ekonomi Indonesia juga signifikan, jadi terlihat ambigu,” kata Andi.

Andi dalam hal tersebut juga mengungkapkan skenario interaksi antara Amerika Serikat terhadap Tiongkok, yaitu skenario Persaingan Damai dan Konflik Militer.

Skenario presaingan damai bertujuan untuk mendorong negara mitra mendukung Amerika serikat di isu strategis, sementara pada skenario konflik militer bertujuan untuk mengalahkan tiongkok secara politik dan militer.

Dalam persaingan damai, keluarannya adalah tidak ada pemenang tunggal, AS terus memperoleh dukungan militer dalam berbagai dinamika strategis global, sementara dalam keluaran konflik militer kemenangan telak AS baik secara politik maupun militer.

Dalam konflik militer dari friksi yang terjadi antara AS dan Tiongkok, Indonesia mengkhawatirkan kalau friksi yang terjadi singkat. Artinya kalau friksi yang terjadi dalam waktu singkat ada gelar teknologi yang signfikan, sehingga negara-negara tersebut menjadikan one battle determined the result. Ini sesuai dengan amanat Presiden Jokowi pada HUT ke-75 tahun TNI yang mengingkatkan untuk berhati-hati dalam karakter perang yang high technology, high level destruction.

Selain hal di atas, Gubernur Lemhannas juga membahas titik terendah antara AS dan Tiongkok, adalah saat peristiwa Tiananmen (1989) dan ketika NATO dalam operasinya di bekas Yugoslavia membom kedutaan Tiongkok (1999), serta pada perang Korea pada 1951- 1953.

Trendline antara 2001 hingga 2021 bisa dilihat cenderung mendatar tidak ada perkembangan yang signifikan. Amerika Serikat dan Tiongkok terlihat cenderung mendatar.

Terdapat kecenderungan persaingan antara AS dan Tiongkok di Asia Timur. Akan tetapi kekuatan Tiongkok “Secara de facto, Tiongkok adalah negara terkuat di Asia Timur,” kata Gubernur Lemhannas.

Menurutnya, kekuatan Tiongkok itu dapat dilihat dari gelaran belanja pertahanan dan dari factor energi dan FDI. Kalau dilihat belanja gelar pertahanan Tiongkok sangat jauh dibanding dengan AS.

Bila dicermati belanja Amerika Serikat ini untuk global, sementara Tiongkok hanya pada level Asia Timur saja.

Sementara Amerika Serikat (AS) mengalami Imperial Overstretch. Sebagaimana yang disebutkan Paul Kennedy, satu-satunya cara negara hegemony mengatasi Imperial Overstretch adalah dengan inovasi. Ketika gagal melakukan inovasi, maka konsekuensinya adalah the fall of great power. Itu terlihat di dunia ketika 1979, Amerika Serikat mengalami imperial overstretch.

“Dan Tiongkok belum mengalami, bisa terus melakukan inovasi untuk membangun dan menggelar kekuatannya di Asia Timur,” lanjut Gubernur Andi.

Sumber Foto: Humas Lemhannas