Staf Ahli Menkominfo: Media Sosial Menciptakan Kebenaran Semu

:


Oleh Wawan Budiyanto, Kamis, 15 April 2021 | 13:28 WIB - Redaktur: Untung S - 427


Jakarta, InfoPublik - Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Prof Dr. Henri Subiakto mengungkapkan, media sosial (Medsos) menciptakan kebenaran semu (post truth) dengan cara memainkan emosi dan perasaan. Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk tidak terlalu percaya dengan medsos.

“Medsos itu menciptakan yang namanya kebenaran semu. Hati-hati dengan medsos, tidak semua isi yang ada di medsos itu benar,” kata Henri dalam paparannya pada Webinar ‘Bijak Bermedia Sosial’ di Jakarta, Kamis (15/4/2021).

Menurutnya, di era post truth seperti sekarang ini banyak bermunculan informasi-informasi yang disajikan melalui medsos namun ternyata merupakan kebohongan atau sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dan korbannya adalah orang-orang yang tidak suka menyimak dan membaca serta mau membuktikan kebenarannya terlebih dahulu.

“Berita kebohongan, ujaran kebencian banyak munculnya dari kegaduhan yang dibuat oleh akun buzzer. Bahkan seorang ustad, kyai, guru bahkan menteri atau presiden bisa di-bully di medsos seakan-akan salah. Padahal pem-bully merupakan akun yang dibuat bertugas untuk membuat seperti itu,” katanya.

Karena itu, Henri meminta masyarakat untuk tidak percaya sepenuhnya dengan informasi yang ada di medsos. “Jangan terlalu percaya dengan medsos karena banyak sekali rekayasa-rekayasa, itu yang terjadi,” ujarnya.

Ia mengajak masyarakat untuk menggunakan media sosial secara aman dengan cara cermat menggunakan, cerdas memposting dan mempelajari Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

“Mari kita bermedsos secara aman, cermatlah menghadapi internet. tidak semua internet itu adalah kebenaran, cerdas memposting sesuatu karena akan menjadi jejak digital selamanya. Pelajari UU ITE dan aturan-aturan lainnya,” sebut Henri.

Anggota Komisi I DPR RI Lodewijk F Paulus menjelaskan, medsos diibaratkan seperti pedang bermata dua. Disatu sisi bisa dimanfaatkan dengan baik dilain sisi bisa digunakan untuk hal yang negatif.

“Seperti pedang bermata dua, sisi lain tajam sisi lain juga tajam kalau kita tidak hati-hati maka akan menjadi masalah,” katanya.

Menurutnya, ada banyak manfaat dalam menggunakan medsos, contohnya memberikan informasi tentang COVID-19, sarana untuk belajar, sarana untuk mengembangkan bisnis, usaha kecil dan menengah, informasi jalan saat terjebak macet, memudahkan pekerjaan dan lain-lain.

Ditambahkannya, efek negatif dari medsos juga tidak kalah banyaknya, seperti pornografi, pornografi, hoaks, ujaran kebencian, fitnah, perjudian, provokasi suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), pelanggaran kekayaan intlektual dan lain-lain.

Untuk itu, Lodewijk mengajak peran serta semua pihak agar bersama-sama menjaga dan saling mengingatkan untuk menggunakan medsos dengan bijak. Gunakan medsos dengan efektif dan bermanfaat bagi kehidupan.

“Mari kita bijak menggunakan medsos. Meskipun ada upaya law enforcement (penegakan hukum-red) tetapi tidak cukup sampai disitu. Yang berikutnya adalah edukasi kita kepada sesama dari yang tua ke yang muda dan sebaliknya. Generasi muda ke tua dan sebaliknya. Kewajiban kita saling mengingatkan, ada kesadaran pribadi sehingga diharapkan medsos dapat digunakan secara efektif baik dan bermanfaat,” tuturnya.

Sementara itu, salah satu praktisi media Syafira sekaligus pencipta konten yang ikut hadir pada webinar mengatakan, untuk menggunakan media sosial dengan bijak perlu pemahaman informasi yang didapat. Perlu kemampuan literasi bahwa informasi yang ada baik di terima oleh usia dan kalangan yang tepat.

“Semua harus kembali ke Truth-nya dulu nih. Kalau kita mau menggunakan medos secara bijak, harus paham dulu, ini untuk berbagi informasi, ini untuk komunitas dan lain-lain,” katanya.

Menurutnya, ada yang salah dari sistem penggunaan media sosial di Indonesia diantaranya dari masyarakat sendiri seperti minimnya literasi, tidak mau kroscek informasi. ada keingingan mencari tahu tapi bukan mencari benar atau salahnya informasi.

“Muncul Universitas baru ‘Whatsapp’ karena semua jadi professor semua punya teori, teori dan teori yang kita tidak tahu benar atau salah dan sebagainya,” kata Syafira.

Terakhir katanya, bagaimana meminimalisir dampak negatif dari penggunaan media sosial adalah dengan melakukan pembatasan.

Ga ada cara lain, pembatasan. Mulai dari durasi penggunaan, control aksesibility ponsel, scrren time pada ponsel pribadi. Saya batasi aksesnya maksimal sehari bolehnya 2 jam saja,” urainya

Diungkapkannya, pembatasan bisa dilakukan mulai dari diri sendiri dan keluarga. Dimulai dari kelompok terkecil tentang bagaimana menghindari dampak buruk pada penggunaan media sosial.

Ngasih tau orang tua, keponakan dan lain lain. Ada pembatasan usia paham mana yang bisa dikonsumsi dan mana yang bukan. Insyaallah kedepan jauh lebih mudah. Minimal saring dulu sebelum sharing, setop di kita, hoaks terkontrol supaya penggunaan media kembali ke fungsi awalnya untuk kebermanfaatan,” pungkasnya.