Tito menyatakan, dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diatur tentang ketentuan pemberhentian kepala daerah.
Bunyi aturan itu, diantaranya kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dapat diusulkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban.
“Nanti Mendagri akan memberikan keputusan berdasarkan pengujian dari MA,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik mengatakan, pihaknya terus melakukan monitoring terkait dengan apa yang terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
"Kemendagri hanya memonitor saja. Dan meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Jatim) untuk memfasilitasi sesuai aturan," katanya
Seperti diketahui pada Pasal 80 UU Pemda disebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dapat diusulkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur.
Serta kepada Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan serta tidak melaksanakan kewajiban.
Akmal mengatakan, pemerintahan di Jember tentunya harus tetap berjalan seperti biasa. Termasuk upaya penanganan Covid-19.
"Kita yakin dan percaya, Pemprov Jatim akan memfasilitasi dinamika demokrasi di Jember dengan baik," katanya.
Sedangkan, Bupati Jember Faida oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember dianggap tidak prosedural.
Pasalnya Bupati Jember tidak diberikan materi kongkrit atas kegiatan hak menyatakan pendapat di kantor DPRD Jember.
“Pemakzulan itu tidak prosedural karena tidak sesuai PP tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan. Karena sebelum melakukan Sidang Paripurna dengan agenda hak menyatakan pendapat. Bupati Jember juga tidak diberi materi pokok terkait atau dokumen tentang hak menyatakan pendapat,” kata Juru Bicara Bupati Jember, Gatot Triyono.
Ia mengatakan, seharusnya sebelum melakukan hak menyatakan pendapat sesuai Pasal 78 Ayat 2, Bupati diberikan materi untuk agenda DPRD tersebut.
“Atas kondisi ini Bupati Jember menganggap pemakzulan tersebut tidak prosedural,” timpal Gatot Triyono.
Sebelumnya, DPRD Jember memutuskan memakzulkan Faida dari jabatannya sebagai bupati secara politik, yakni melalui sidang paripurna Hak Menyatakan Pendapat (HMP) pada 22 Juli 2020. (Foto: Kemendagri)