:
Oleh Eko Budiono, Jumat, 3 Juli 2020 | 14:49 WIB - Redaktur: Isma - 195
Jakarta, InfoPublik - Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Dian Permata mengatakan, mencegah tindakan politik uang tidak hanya tanggung jawab Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun, para penyelenggara pemilu dapat menggandeng tokoh lokal yang benar-benar didengar masyarakat agar menolak praktik politik uang, misalnya tokoh agama.
Ia mengatakan, setiap daerah tentu memiliki karakteristik yang berbeda, termasuk tokoh yang paling didengar.
Misalnya, tokoh agama dapat mengkampanyekan politik uang berhukum haram kepada masyarakatnya.
Sehingga, diharapkan masyarakat akan menolak ketika kandidat calon kepala daerah melakukan vote buying atau memberikan uang/barang agar memilih dirinya.
Kendati rumit, penyelenggara dapat melakukan pemetaan terhadap tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam tatanan hidup masyarakat di daerah.
Sebelumnya, Ketua Bawaslu RI, Abhan mengatakan, tindakan politik uang berpotensi meningkat pada Pilkada 2020 karena digelar di tengah pandemi Covid-19.
Apalagi, kepala daerah yang akan maju kembali dalam pilkada rawan menyalahgunakan kewenangan.
"Karena kondisi pandemi ini ekonomi kurang baik maka potensi politik uang juga bisa tinggi dibanding kondisi pada pilkada-pilkada sebelumnya. Karena ada relasinya, relasi antara kondisi ekonomi dengan itu," katanya.
Abhan menyebutkan, pandemi Covid-19 juga membuat rawan penyalahgunaan kewenangan kepala daerah yang akan maju kembali dalam Pilkada 2020, terutama politisasi bantuan sosial.
Bahkan, Bawaslu telah menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan politisasi bansos tersebut di sejumlah daerah.
(Foto: Bawaslu RI)