Jaga Netralitas ASN, Kemendagri Siapkan SKB

:


Oleh Eko Budiono, Sabtu, 27 Juni 2020 | 18:40 WIB - Redaktur: Untung S - 199


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedang menyiapkan surat keputusan bersama (SKB) antar kementerian, dan lembaga untuk menjaga netralitas aparatur sipil negara (ASN) di Pilkada 2020. 

Tujuannya, SKB akan melindungi para ASN dari pengaruh pejawat kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada 2020. 

Hal itu disampailan Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD, dan Hubungan Antarlembaga Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Budi Santoso, melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (27/6/2020).

Menurut  Budi, perlindungan itu agar pegawai-pegawai di pemerintahan daerah maupun kementerian/lembaga tidak terkontaminasi pergerakan politik peserta pilkada baik kepala daerah, partai, serta tim sukses.

"Kita semua memahami bahwa teman-teman ASN di Kabupaten/Kota yang incumbentnya maju kelihatannya perlu ada perlindungan khusus. Bagaimana dia tidak terkontaminasi pergerakan politik dari petahana," urainya 

Selain Kemendagri, SKB akan melibatkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN).

"Netralitas ASN, ini kita lagi siapkan ada SKB antara Menpan-RB, Mendagri, dan BKN untuk bagaimana netralitas ini," ujar dia.

Sebumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menerima laporan atas dugaan politisasi Bantuan Sosial (Bansos) untuk penanganan dampak pandemi Covid-19 oleh kepala daerah.

Dugaan politisasi Bansos oleh kepala daerah yang berpotensi mencalonkan diri di Pilkada 2020 terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota. 

"Terdapat pembagian bansos dan diduga dipolitisasi dengan menempelkan gambar kepala daerah yang berpotensi menjadi petahana," ujar anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja.

Ia menyebutkan, daerah-daerah yang terdapat dugaan politisasi bansos antara lain Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu; Indragiri dan Pelalawan, Riau; Ogan Ilir, Sumatera Selatan; Jambi, Lampung Timur, Pesawaran, dan Way Kanan, Lampung; Lampung Selatan; Kabupaten Pandeglang, Banten; Pangandaran dan Cianjur, Jawa Barat; Sumenep dan Jember, Jawa Timur; Klaten, Semarang, dan Purbalingga, Jawa Tengah; Gorontalo; serta Keerom (Papua).

"Dan beberapa dikirim ke Mendagri. Ada dua di NTB yang rekomendasi ke Kemendagri, Lombok Utara dan Sumbawa," ujarnya.

Namun, kata Bagja, Bawaslu tidak bisa melakukan penindakan pelanggaran terhadap dugaan politisasi bansos tersebut.

Pasalnya, saat ini belum ada landasan hukum yang mengatur Bawaslu dapat menindaklanjuti dugaan pelanggaran oleh kepala daerah tersebut sebelum adanya penetapan calon.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur larangan terhadap gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon (paslon).

Akan tetapi, UU Pilkada hanya mengatur larangan dan sanksinya apabila paslon sudah ditetapkan KPU.

Ia meminta dugaan pelanggaran politisasi bansos diselesaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Regulasi ini melarang kepala daerah memanfaatkan program untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, yang juga bisa ditafsirkan kepentingan dalam kontestasi pilkada. (Foto: Bawaslu RI).