Kemlu: Ada Pelanggaran dalam Insiden Pelarungan ABK WNI

:


Oleh Eko Budiono, Selasa, 19 Mei 2020 | 16:51 WIB - Redaktur: Untung S - 328


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mengatakan terdapat pelanggaran dalam insiden jenazah anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI), yang dibuang atau dilarung ke laut Somalia dari kapal ikan berbendera China. 

Hal tersebut usai Kemlu beserta kementerian, dan lembaga terkait melakukan pertemuan secara virtual pada  untuk menindaklanjuti kasus pembuangan jenazah berisinial Herdianto, seorang ABK asal Indonesia, yang bekerja di Kapal China Lu Qing Yuan Yu 623.  

Pertemuan itu juga menghadirkan perwakilan dari perusahaan agensi pengirim ABK dan pihak keluarga korban. 

“Beberapa informasi yang diperoleh berdasarkan fakta dari salinan dokumen. 16 Januari 2020, almarhum H meninggal dunia di atas kapal LQYY623. Almarhum ditemukan meninggal saat dibangunkan untuk bekerja,” tulis Kemlu dalam keterangan persnya, Selasa (19/5/2020).

Setelah diketahui meninggal, pada 23 Januari 2020, jenazah Herdianto kemudian dilarung ke laut.
 
Hal itu berdasarkan informasi Surat Keterangan Kematian yang diterbitkan oleh MTB, perusahaan pengirim yang memberangkatkan ABK tersebut.

MTB menyampaikan telah mengirimkan Surat Keterangan Kematian dan Pemakaman di laut tertanggal 23 Januari 2020 dengan ditembuskan kepada Kemlu, Kementarian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
 
Namun, ketiganya mengakui tidak pernah menerima surat tersebut.

Setelah ditelusuri, MTB ternyata tidak memiliki izin resmi dalam penyaluran pekerja migran Indonesia ke luar negeri.
 
Hal itu menurut informasi yang diperoleh dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

“Pihak Kemenhub menginformasikan bahwa MTB tidak terdaftar dalam Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK). Pihak Kemenaker juga menginformasikan bahwa MTB tidak memiliki izin resmi sebagai perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (SP3MI),” tulis Kemlu.

Karena itu, Kemlu beserta kementerian dan lembaga terkait berkomitmen memfasilitasi proses penyelesaian hak-hak almarhum dengan pihak ahli waris.
 
Termasuk, berkoordinasi dengan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Beijing untuk meminta otoritas Pemerintah China agar menyelidiki insiden tersebut dan memeriksa kondisi ABK WNI lainnya di kapal LQYY 623.

“Kemlu akan berkoordinasi lebih lanjut dengan pihak Bareskrim Kepolisian RI untuk investigasi kasus ini,” pungkas Kemlu.

Sebagai informasi, kasus itu bermula dari unggahan video di akun Facebook bernama Suwarno Canö Swe, Sabtu (16/5/2020) yang ramai diperbincangkan publik. Ada tiga cuplikan video berdurasi 29 detik yang diunggah oleh akun tersebut.

Dalam tayangan itu terlihat seorang ABK mengalami siksaan hingga meninggal dan kemudian jasadnya dilarung ke laut. Peristiwa itu diduga terjadi di kapal ikan berbendera China, Luqing Yuan Yu 623.

Korban diduga mengalami siksaan sehingga terjadi kelumpuhan pada bagian kaki akibat tendangan, serta pukulan dari bahan kayu, besi dan botol kaca hingga setruman.
 
Selain mengalami siksaan, ABK asal Indonesia itu diduga menjadi korban perbudakan.

Kondisi itu seperti dialami para ABK di kapal Long Xin 629 asal China yang sempat viral beberapa pekan lalu.
 
Dalam kasus itu, ada tiga jenazah ABK WNI yang dilarung ke laut dan diduga mengalami perlakuan eksploitasi di kapal tersebut.
 
Bareskrim Polri kemudian menetapkan tiga tersangka dari para agen penyalur ABK yang diduga melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
 
Sebelumnya, Kemlu mengungkapkan sejumlah kesulitan dalam memberikan perlindungan ABK Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di kapal asing. Salah satunya terkait data jumlah ABK WNI yang belum akurat.

“Ini tantangan dalam upaya perlindungan yang dihadapi di lapangan,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha. 

Judha mengatakan Kemlu belum memiliki data yang akurat terkait jumlah  ABK WNI. Persoalan pekerja tak terdata ini biasanya akan terungkap setelah muncul kasus baru.

“Kami hanya tahu ketika masalahnya muncul dan itu sudah terlambat, tentu langkah efektif adalah pencegahan. Langkah pencegahan tidak optimal karena data awalnya tidak ada,” ujarnya.

Ia menambahkan persoalan ini banyak muncul lantaran praktik keberangkatan yang tak sesuai prosedur, atau ada juga ilegal sehingga menyulitkan pendataan. (Foto : Kemlu)