Mutakhirkan Data Pemilih, KPU Siapkan Regulasi Jaga Jarak

:


Oleh Eko Budiono, Senin, 18 Mei 2020 | 20:26 WIB - Redaktur: Untung S - 347


Jakarta, InfoPublik - Regulasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 dengan penerapan phsycal distancing atau jaga jarak, sedang dipersiapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Aturan itu dimulai dari tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih.
 
Menurut Komisioner KPU RI Viryan Aziz, tahapan coklit idealnya memang harus dilakukan dari 'pintu ke pintu' (door to door). 

"Pendekatan dari pintu ke pintu tidak disebut dalam Undang-Undang, di pasal 57 atau 58 ayat 3 yang disebut adalah melakukan coklit Daftar Pemilih Sementara (DPS) di wilayah RT/RW yang bersangkutan. Sehingga menjadi relevan, kalau pendekatan coklit digunakan berbasis RT/RW,” ujar Viryan, dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/5/2020).

Menurutnya, coklit DPS secara door to door ke depan direncanakan tidak lagi dilaksanakan. 

Virya menyatakan  sudah saatnya menata manajemen pemutakhiran data pemilih yang lebih baik. 

"Ke depan Tempat Pemungutan Suara (TPS) bersifat permanen. Harapannya TPS berubah bisa dikurangi,” tegasnya.

Terkait pemutakhiran data pemilih di era physical distancing, Viryan mengatakan pihaknya telah mendapatkan data Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dari pemerintah sebanyak 105 juta.

Sedangkan data KPU dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada ada 101 juta. Dalam UU 10/2016, basis pemutakhiran data pemilih adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir.

Berdasarkan data usai Pemilu 2019 dengan segala kekurangannya, terlihat selisih data antara DPT (2019) dengan DP4 itu kurang lebih 4-5 persen.

"Sejak November 2019, KPU RI sudah menggaungkan kepada KPU daerah agar melakukan pemetaan pemilih sejak dini," kata Viryan.

Khusus daerah-daerah yang melakukan pilkada, sejak November telah dilakukan pengecekan data dan pembersihan data yang substansinya adalah penyelenggara pemilu di daerah harus menguasai data yang ada dalam dirinya, yang ada di KPU.

“Bila perlu sampai detil, kami minta per desa/kelurahan dianalisis. Itu sejak November kami minta,” ujar dia.

KPU juga memperhatikan tentang adanya potensi ketidaksesuaian data apabila datanya diambil hanya dari orang-orang RT/RW, tidak turun langsung seperti kasus-kasus sebelumnya.

Ia menyatakan pernah terjadi malpraktik Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (Pantarlih) per TPS karena tidak bekerja secara 'door to door'. 

Hal itu terjadi karena Pantarlih bekerja per TPS. Karena satu TPS bisa terdiri dari dua sampai lima RT, sejumlah Pantarlih tidak bisa bekerja dengan baik karena dia harus bergerak dari RT ke RT.

Untuk itu, menurut Viryan, KPU akan menguatkan Pantarlihsehingga tidak lagi per TPS namun per RT.

Dengan adanya instrumen ini, Viryan berpendapat, pencocokan dan penelitian data pemilih sebetulnya memungkinkan dilakukan meski tidak harus mendatangi warga satu persatu.

Viryan mengatakan memang jumlah Pantarlih akan jauh lebih banyak dan karena kegiatan coklitnya dalam lingkup RT.

Namun kontak langsung dapat diminimalisir serta dimungkinkan Pantarlih berbasis RT tersebut tidak datang dari rumah ke rumah, karena sudah tahu siapa saja pemilih yang berada di wilayahnya.

“Beda kalau dia per TPS, dia harus berkunjung ke satu RT, kemudian dia ke RT lain. Dengan demikian lebih detil, apabila RT/RW tersebut akan dijadikan petugas KPPS. Sehingga kalau nanti ada masalah, RT/RW lah yang bertanggung jawab. Karena dia sudah melakukan pemutakhiran data pemilih. Desain ini yang coba dibangun KPU RI dalam PKPU,” urainya.

Secara bersamaan, bila para pihak terkait setuju dengan desain yang dirancang KPU, para pihak terkait dapat memangkas anggaran dengan melakukan kampanye secara manual menjadi pendekatan daring. “Meskipun dalam UU diatur kampanye secara manual bisa kita pangkas, digeser jadi pendekatan daring, ini sangat signifikan mengurangi anggaran kita,” ungkapnya.

Mau tidak mau, dengan asumsi data pada Pemilu serentak 2019 kemarin, dengan datanya sudah 95 persen, coklit dengan RT/RW semestinya bisa terlaksana dengan baik.

Sebelumnya, Ketua  KPU RI, Arief Budiman, mengatakan pelaksanaan Pilkada 2020 akan sangat tergantung pada kondisi pandemi Covid-19. Artinya, jika pandemi corona belum berakhir, maka Pilkada bisa ditunda lagi dari rencana Desember 2021.

Menurut Arief, pihaknya sudah menyusun dua skenario baru yaitu menunda Pilkada pada Maret 2021 atau September 2021.

"KPU tak bisa perkirakan bencana ini akan selesai kapan, maka KPU keluarkan opsi berikutnya. Apabila tidak selesai dalam waktu yang kita perkirakan, maka diberi opsi dua: Maret 2021, kalau tak selesai juga, maka opsi kedua September 2021," katanya. (Foto : KPU RI)