Bawaslu Ungkap Modus Kepala Daerah Gunakan Bansos

:


Oleh Eko Budiono, Selasa, 5 Mei 2020 | 18:37 WIB - Redaktur: Untung S - 494


Jakarta, InfoPublik - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) R I, Abhan, menyatakan   modus pemanfaatan pemberian bantuan sosial (Bansos) oleh kepala daerah yang maju dalam Pilkada 2020 atau pejawat terkait Covid-19.

Menurut Abhan,   ada tiga tindakan pejawat kepala daerah yang berpotensi maju pilkada dalam penyaluran bantuan itu.

"Sudah terjadi, memang modusnya ada beberapa hal, soal bansos ini terkait dengan penanganan Covid-19" kata usai diskusi virtual di Jakarta, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/5/2020).

Abhan menuturkan modus pertama, yakni bansos dibungkus atau dilabeli gambar kepala daerah. 

Abhan juga menyatakan, ada bansos disertai gambar kepala daerah, yang bersangkutan memakai simbol memakai seragam putih. 

Sedangkan modus kedua, bansos dibungkus yang diembeli-embeli dengan jargon-jargon atau simbol-simbol politik. Jargon-jargon kampanye pada periode pilkada sebelumnya atau yang sekarang meskipun belum ada masa kampanye.

Ia menyatakan modus ketiga, pemberian bansos tidak mengatasnamakan pemerintah, tetapi atas nama langsung pribadinya.

Abhan mencontohkan, hal ini terjadi kepada Bupati Kabupaten Klaten dan Wali Kota Semarang yang diketahui telah mengantongi rekomendasi dari partai politik untuk maju Pilkada 2020.

"Gambarnya tidak pemerintah, tetapi gambarnya langsung pribadi yang wali kota dan wakil wali kota yang sedang menjabat saat ini, dan kebetulan sudah mendapatkan rekomendasi dari partai untuk maju kembali," tegasnya.

Bawaslu telah mengeluarkan surat imbauan kepada Bawaslu Provinsi maupun Kabupaten/Kota agar meminta pihak berwenang di daerah masing-masing mengupayakan pencegahan pelarangan pemberian uang atau barang sesuai peraturan perundang-undangan.

 "Kami sudah melakukan upaya pencegahan, dan beberapa daerah adanya persoalan ini yang melaporkan, kami sudah melakukan kajian dan klarifikasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan," tuturnya. 

Namun, ada persoalan dari sisi penegakan hukum. Sebab, aturan menyebutkan penindakan dapat dilaksanakan ketika sudah ada penetapan pasangan calon (paslon) dalam Pilkada 2020. 

Sementara, penetapan paslon dijadwalkan 8 Juli 2020. Bahkan, kemungkinan akan mundur akibat penundaan beberapa tahapan pemilihan akibat pandemi Covid-19. 

Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, kepala daerah dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan calon dalam waktu enam bulan sebelum penetapan paslon sampai paslon terpilih.

Abhan menamnahkan, ada problem ketika syarat ketentuan itu kumulatif. Misalnya unsur penyalahgunaan program oleh bupati/wali kota terpenuhi, tetapi unsur yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon belum terpenuhi karena hingga saat ini belum ada penetapan paslon.

Di samping itu, belum juga ada tim kampanye secara formal yang didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, saat ini pun belum masa kampanye. 

"Kalau seandainya sudah ada penetapan calon belum adanya masa kampanye, kami bisa kenakan kampanye di luar jadwal karena belum saatnya kampanye, mana kala sudahh ada penetapan paslon tapi saat ini belum ada paslon," tutur Abhan.

Namun, ia menyatakan ada ketentuan terkait larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pasal 76 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Di antaranya larangan membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan undang-undang.

Selain itu, kepala daerah dan wakil kepala daerah juga dilarang menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan daerah yang dipimpin. Akan tetapi, kata Abhan, penindakan pelanggaran ketentuan ini dilaksanakan di wilayah politis melalui DPRD.

Sebelumnya, kepala daerah dilarang menggunakan kewenanganyang menguntungkan, atau merugikan salah satu pasangan calon (paslon) saat pandemi virus Corona. 

Kepala daerah aktif yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2020 (pejawat), apabila melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon.

Hal tersebut disampaikan komisioner  KPU RI, Hasyim Asy'ari.

"Kepala daerah aktif yang mencalonkan diri lagi (pejawat), bila melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon," ujar Hasyim..

Menurutnya, Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menentukan, "Kepala daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih."

Kemudian dalam Pasal 71 ayat 5 mengatakan, "kepala daerah selaku pejawat melanggar ketentuan di atas dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota." Sedangkan, kepala daerah yang melanggar tetapi bukan pejawat diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 71 ayat 6.(Foto : Bawaslu RI)