Tolak Putusan DKPP, Evi Novida Kirim Surat ke Presiden

:


Oleh Eko Budiono, Selasa, 24 Maret 2020 | 17:08 WIB - Redaktur: Isma - 140


Jakarta, InfoPublik - Upaya perlawanan terhadap putusan pemberhentian oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, dilakukan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Evi Novida Ginting Manik.

Dia mengirim surat ke Presiden  Joko Widodo ( Jokowi) sebagai bentuk penolakan terhadap putusan  DKPP.

Evi menuturkan dirinya meminta Jokowi untuk tidak langsung mengesahkan pemecatan, yang tercantum dalam putusan DKPP 317-PKE-DKPP/2019. Menurutnya, ada terdapat cacat hukum dalam putusan tersebut.
 
"Kepada Presiden Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan putusan DKPP Republik Indonesia Nomor DKPP 317-PKE-DKPP/2019," kata Evi dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (23/3/2020).
 
Selain itu, Evi juga mengirim surat keberatan itu kepada DKPP RI. Dia meminta DKPP membatalkan putusan yang diketok pada Kamis (19/3) tersebut.

Evi mengungkapkan sejumlah alasan antara lain, putusan DKPP tidak beralasan hukum karena pengadu Hendri Makaluasc telah mencabut aduannya pada sidang 13 November 2019.

Menurut Evi, putusan itu berbeda dengan sikap DKPP sebelumnya. Dalam kasus 134/DKPP-PKE-VI/2017, DKPP RI menghentikan aduan karena pengadu atas nama Bertholomeus George Da Silva mencabut laporannya.
 
Selain itu, Evi juga mempermasalahkan sidang putusan yang tidak sesuai Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019. Rapat pleno itu hanya dihadiri 4 orang majelis DKPP RI, padahal aturan menyebut minimal harus dihadiri lima orang.

"Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 dibuat dengan cara yang terburu-buru, tidak cermat, tidak mempertimbangkan quorum. Ini mestinya dinyatakan cacat hukum dan harus dinyatakan batalkan demi hukum," tegasnya.
 
Evi juga mempermasalahkan sanksi pemberhentian diberikan oleh DKPP dengan alasan dirinya punya tanggung jawab lebih secara etik sebagai Ketua Divisi. Padahal, ucapnya, seluruh keputusan di KPU RI diputuskan oleh seluruh komisioner alias collective collegial.

Sebelumnya, DKPP RI memutuskan sanksi pemberhentian bagi Komisioner Evi Novida Ginting Manik atas dakwaan pelanggaran kode etik sebagai penyelenggara pemilu dalam Pileg DPRD Kalimantan Barat (Kalbar).

"Menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap kepada Teradu VII Evi Novida Ginting Manik selaku Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sejak putusan ini dibacakan," ujar Plt Ketua DKPP Muhammad dikutip berkas putusan persidangan perkara nomor 317-PKE-DKPP/X/2020.

Selain itu, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU RI Arief Budiman (Teradu I) , Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi, Ilham Saputra, Viryan Azis, dan Hasyim Asy’ari. Kemudian sanksi peringatan kepada Ketua Provinsi Kalimantan Barat Ramdan (Teradu VIII), Anggota KPU Provinsi Kalimantan Barat Erwin Irawan, Mujiyo, dan Zainab (Teradu XI).

Dalam pertimbangannya, DKPP menyebutkan, Teradu VIII dan XI secara patut telah menindaklanjuti Putusan Bawaslu yang menetapkan perolehan suara Hendri Makaluasc dari 5.325 berubah menjadi 5.384. Kemudian mengubah suara dan perolehan suara Cok Hendri Ramapon nomor urut tujuh Partai Gerindra semula 6.599 menjadi 4.185 suara.

Selain itu Teradu VIII dan XI juga menerbitkan Keputusan Nomor 48/PL.01.9-Kpt/61/Prov/IX/2019 yang mengubah calon terpilih dari Cok Hendri Ramapon menjadi Hendri Makaluasc. DKPP menilai tindakan Teradu VIII dan XI dibenarkan menurut hukum dan etika karena Putusan Bawaslu Nomor 83/LP/PL/ADM/RI/00.00/VIII/2019 tidak dimaksudkan menegasikan Putusan MK Nomor 154-02-20/PHPU.DPRDPRD/XVII/2019.

Namun, KPU RI melalui Surat Nomor 1922/PY.01-1-SD/06/KPU/IX/2019 tertanggal 4 September 2019 menyatakan Putusan Bawaslu a quo tidak dapat dilaksanakan. KPU RI secara sepihak meminta pembatalan hasil rapat pleno terbuka KPU Kalbar yang menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara, kursi, dan calon terpilih Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat sesuai dengan Amar Putusan MK dengan mengesampingkan Putusan Bawaslu RI.

DKPP RI memerintahkan KPU RI dan Presiden RI untuk menjalankan putusan maksimal tujuh hari setelah dibacakan. Sedangkan  Pelaksana tugas (Plt) Ketua DKPP RI, Muhammad, menyatakan putusan sanksi peringatan keras terakhir dimaknai pelanggaran kode etik dan penyelenggara pemilu (KEPP) tersebut sangat berat.

"DKPP dalam menilai dan memutus satu laporan atau perkara etik, itu melihat case by case, makna putusan peringatan keras terakhir bahwa pelanggaran etiknya sangat berat. Pesannya yang mau disampaikan dengan kalimat peringatan keras terkahir bahwa pelanggaran etik ini serius," tegasnya. (Foto : KPU)