Revisi UU Pemilu Diminta untuk Perbaikan Manajemen Pemilu

:


Oleh Eko Budiono, Selasa, 4 Februari 2020 | 15:35 WIB - Redaktur: Isma - 291


Jakarta, InfoPublik - Revisi Undang-Undang (UU) Pemilu oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hendaknya bertujuan memperbaiki manajemen pemilihan umum, dan bukan memperluas kekuasaan.

Hal tersebut disampaikan Peneliti Perkumpulan Demokrasi untuk Demokrasi (Perludem)  Fadli Ramadhanil di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
 
Menurut Fadli, berdasarkan studi pemilu di Jawa Barat dan Lampung, pemilihan sistem pemilu seharusnya berdasarkan evaluasi praktik pemilu. 
 
"Lampung dipilih karena pada 2014 menyelenggarakan pemilu serentak 5 kotak (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota bersamaan dengan Pemilu Gubernur). Sedangkan Jawa Barat dipilih karena merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia," kata Fadli dalam keterangannya.

Menurut Fadli, pemilihan sistem pemilu dan perubahan manajemen pemilu seharusnya berdasar studi kepemiluan dan evaluasi praktik pemilu. Jangan sampai revisi UU Pemilu mengulang jual beli kepentingan seperti UU No.7/2017 yang jadi sebab utama buruknya Pemilu 2019 secara sistem dan manajemen pemilu.

"Pengalaman buruk Pemilu 2019 penting menjadi pelajaran sehingga tak terulang di pemilu berikutnya. Status Pemilu Indonesia yang punya praktik terbaik dunia dalam hal pemungutan dan penghitungan suara di TPS jadi tak enak diucap," urainya.

Dia menyebut, sebanyak 440 petugas lapangan KPU meninggal dunia menjadi jumlah korban tewas terbanyak dalam pesta demokrasi di negara damai yang bukan dalam penguasaan rezim otoriter. Tren membaik penyelenggaraan pemilu sejak Reformasi menjadi antiklimaks.
 
”Hal utama yang harus diklarifikasi dulu adalah tentang keserentakan. Pemilu serentak penting untuk disepakati pengertian dan tujuannya secara tepat,” kata dia. 

Menurutnya, Pemilu serentak adalah penyatuan pemilu presiden dengan DPR (tidak bersama DPRD) yang bertujuan menghasilkan partai politik dan koalisi mayoritas pengusung presiden dalam parlemen bersistem multipartai sederhana. 

Adapun, pengertian dan tujuan pemilu serentak ini selaras dengan kebutuhan perbaikan sistem pemerintahan presidensial Indonesia hasil Reformasi yang terancam oleh elite berkuasa yang menginginkan GBHN dan penghapusan pemilu presiden langsung. 

Ia menegaskan, penting memetakan masalah sistem dan manajemen secara terpisah juga memetakan masalah manajemen yang terdampak dari masalah sistem.
 
Pemetaan masalah ini membuat kita mengetahui, mana masalah Pemilu Serentak 2019 yang disebabkan salah memilih desain pemilu serentak dan mana masalah yang disebabkan karena kesalahan manajemen pemilu. 

Kesadaran holistik ini tampaknya tak terlalu dipikirkan dalam UU No.7/2017 menyerta implementatornya sehingga sistem pemilu yang dipilih tak menyertakan bentuk manajemen pemilu secara konkret dan rinci yang kemungkinan buruknya tak diantisipasi.

”Perludem memetakan ada tiga masalah manajemen yang terdampak dari masalah sistem. Pertama, penggabungan Pemilu DPR dan Pemilu DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota sehingga memecah konsentrasi kepentingan nasional dan lokal,” ujarnya. 

Kedua, daerah pemilihan yang amat besar yakni, 3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD sehingga membuat kepesertaan pemilu riuh dan membingungkan. Ketiga, dipertahankannya ambang batas pencalonan presiden berdasar kepemilikan kursi atau suara dari pemilu sebelumnya sehingga memunculkan polarisasi massa menyerta psikologis negatif melalui hoaks, fake news, bahkan kriminalisasi.
 
"Semua masalah ini yang membuat pemilu Indonesia bersifat unmanageable secara sistemik," tuturnya.

Selain itu, pihaknya memetakan empat masalah murni manajemen yang lepas dari masalah sistem. Pertama, rekrutmen petugas TPS yang tak dioptimalkan KPU untuk banyak melibatkan warga muda dengan bimbingan teknis yang cukup. 

Kedua, simulasi pemungutan dan penghitungan suara di TPS yang lebih menekankan layanan kepada pemilih sehingga aspek kualitas dan stamina petugas TPS terabaikan.
 
Ketiga, paradigma manajemen pemilu yang sentralistik dalam penanganan sengketa pemilu dan pengadaan logistik yang kurang mempertimbangkan konsekuensi teknis sehingga membebani petugas lapangan.
 
Keempat, penerapan teknologi pemilu yang bersifat manual khususnya sistem informasi partai politik (Sipol) dan sistem informasi penghitungan suara (Situng) sehingga menurunkan kualitas Pemilu Indonesia yang transparan dan akuntabel.

Selain perbaikan khusus pada tiga masalah manajemen yang terdampak dari sistem dan empat masalah murni manajemen tersebut, kata Fadli, Perludem juga mempunyai dua rekomendasi utama. Pertama, mewujudkan desain pemilu serentak nasional (Pilpres bersama Pemilu DPR dan DPD), lalu 2 tahun berselang ada evaluasi presidensial pada tengah periode melalui pemilu serentak lokal (Pilgub bersama Pemilu DPRD Provinsi dan Pil-Bupati/Wali Kota bersama Pemilu DPRD Kabupaten/Kota. 

"Kedua, jangan lupakan revisi UU Parpol untuk menekankan pada syarat pembentukan parpol yang proporsional, inklusif, partisipatif, transparan, dan akuntabel pada aspek keanggotaan, kelembagaan, dan keuangan Paprol yang terhubung dengan syarat kepesertaan pemilu," pungkasnya.
 
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman mengharapkan,  revisi Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus menghasilkan desain penyelenggaraan pemilihan yang murah dan efisien.

Menurut Arief, baik penyelenggara maupun peserta pemilu idealnya tidak perlu mengeluarkan biaya tinggi dalam pemilu.

"Rrevisi UU yang menurut saya penting harus mampu memformulasikan penyelenggaraan tahapan pemilu yang efektif, efisien dan murah. Itu harus diutamakan," kata Arief.

Arief menilai pelaksanaan pemilu di Indonesia  tidak harus mahal. "Murah itu untuk penyelenggara dan peserta juga," katanya.

Arief menegaskan, kondisi pemilu saat ini yang menurutnya masih terlalu mahal untuk penyelenggara dan peserta.

"Misalnya sudah ada e-katalog. Sehingga pengadaan logistik jauh lebih murah. Tapi ternyata di UU ada perintah lain, bahwa KPU harus membiayai kampanye peserta pemilu," ungkapnya.

Sementara itu di sisi peserta, masih ada kecenderungan untuk melakukan politik uang karena sanksi yang tergolong ringan.

"Kalau diperberat sanksinya kan orang enggak jadi money politic. Jadi kan itu membuat murah bagi peserta. Kalau sanksi ringan ya orang bolak-balik mencoba," pungkasnya. 

Sedangkan, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan, pihaknya berharap proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bisa dimulai pertengahan 2020.

Menurut Bahtiar, pembahasan revisi aturan pemilu ini setidaknya baru bisa tuntas dalam lima hingga tujuh kali masa sidang.

"Ya karena memang tidak mungkin selesai satu atau dua kali masa sidang. Bisa jadi tiga, empat, lima, enam hingga tujuh kali masa sidang," katanya.

Namun, Kemendagri mendorong agar pembahasan revisi UU Pemilu bisa secepatnya selesai.

Sementara itu, dasar rekruitmen penyelenggara pemilu masih menggunakan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang saat ini belum direvisi.

DPR RI  mengesahkan 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020.

RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masuk dalam prolegnas prioritas 2020.