Pemindahan Ibu Kota Negara Dikerjakan Lintas Sektoral

:


Oleh Eko Budiono, Kamis, 23 Januari 2020 | 14:54 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 318


Jakarta,InfoPublik-Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kutai Kertanegara dab Paser Penajam Utara, Kalimantan Timur, memerlukan kerja sama antar kementerian.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) M Tito Karnavian menuturkan kementeriannya yang sekarang kurang power apabila diminta mengerjakan pemindahan ibu kota negara. "Itu sudah lintas sektoral yang enggak bisa dikerjakan dengan power Kemendagri saat ini. Kalau Kemendagri zaman dahulu iya powerful, nah, ini sudah dibagi-bagi kewenangan Kemendagri di tempat lain," kata Tito dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/01/2020).

Menurut Tito, pihaknya menghargai keinginan  DPR RI yang ingin agar proses pemindahan ibu kota negara diakomodir oleh Kemendagri sebagai leading sector. Tapi ia melihat itu tidak mungkin saat ini, sebab perpindahan ibu kota negara itu kini lebih melibatkan banyak pihak.

Misalnya saja, katanya, dalam hal pengadaan tanah yang harus melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahkan melibatkan pemerintah daerah juga.

"Itu untuk tanahnya, untuk masalah investasi pembangunan melibatkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi. Mampu enggak dikerjain oleh Kemendagri" tegasnya.

Tito mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian menunjuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk menyusun Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) sebagai dasar hukum pemindahan ibu kota negara tersebut.

Karena itu, Kemendagri juga mengusulkan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2020. "UU-nya harus diubah untuk DKI ini kalau UU IKN mungkin bisa paralel," ungkapnya.
 
Sebelumnya, status wilayah ibu kota negara yang baru masih dalam rancangan. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Akmal Malik mengatakan, status ibu kota baru akan dibahas bersama DPR RI. Namun, wacana yang muncul, pemerintah mengusulkan berstatus administratif.

Akmal mengatakan tidak mengetahui pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terkait status ibu kota negara apakah daerah otonom atau daerah administratif. Jika ibu kota tetap masuk ke Provinsi Kalimantan Timur dan Presiden memilih administratif, bisa saja kota berbentuk administratif atau provinsi administratif.

"Kalau kota administratif itu seperti Jakarta Pusat, dia tidak punya DPRD. Boleh enggak provinsi administratif? Boleh saja. Kita enggaktahu pilihan presiden seperti apa, apakah otonom atau administratif, kita enggak tahu," ujar Akmal.

Menurut Akmal , daerah administratif tidak memiliki DPRD dan kepala daerah ditunjuk langsung presiden. Sehingga tidak ada pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk mencegah konflik politik lokal di ibu kota negara yang baru nanti.

Di sisi lain, kata Akmal, bisa juga dilakukan kombinasi daerah otonom yang kepala daerahnya dipilih DPRD. Akan tetapi, kemungkinan untuk tahap awal dipilih kepala daerahnya terlebih dahulu, DPRD menyusul pada pemilihan 2024 nanti.

Akmal mengatakan, kurang lebih ada empat pilihan menentukan status ibu kota negara baru. Diantaranya daerah otonom, daerah kawasan khusus, daerah otonom dengan kewenangan terbatas, serta daerah mix antara otonom dan kawasan khusus.

Ia menuturkan, status administratif lebih memudahkan penyelenggaraan pemerintahan di ibu kota negara nanti. Sebab, pemerintahannya di bawah kewenangan presiden untuk menunjang penyelenggaraan pemerintah pusat yang berada di ibu kota.

"Lebih gampang, karena kan semuanya direct langsung dari presiden. Kalau ada DPRD itu akan masuk politik lokalnya panjang," tambahnya.