Komnas PA Prihatin Soal Kasus Pengeroyokan Anak SMP di Pontianak

:


Oleh Jhon Rico, Rabu, 10 April 2019 | 13:10 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 667


Jakarta, InfoPublik- Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menyayangkan dan prihatin terhadap peristiwa penganiayaan yang dilakukan 12 orang siswi SMA terhadap seorang siswi SMP berinisial A (14) di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan, kejadian ini mengakibatkan korban mengalami sakit, trauma dan depresi berat yang terjadi, Jumat (29/3).

"Setelah Tim Relawan Sahabat Anak Indonesia untuk wilayah kerja Kalimantan Barat mendapat data dan kepastian peristiwa perundungan ini, Komnas Perlindungan anak sangat menyayang dan mengambil sikap bahwa penganiyaan, perundungan, persekusi diikuti kekerasan seksual yang dilakukan 12 geng siswi ini tidak bisa ditoleransi oleh akal sehat manusia lagi," kata Arist dalam keteranganya, Rabu (10/4).

Arist mengatakan, ibu korban menjelaskan, kejadian itu bermula saat korban dijemput oleh salah seorang pelaku di kediaman kakeknya sekitar pukul 14.00 WIB. Pelaku meminta korban untuk dipertemukan dengan kakak sepupunya yaitu dengan alasan ada yang ingin dibicarakan. Padahal, korban tidak terlalu mengenal pelaku.

Setelah bertemu, ternyata yang menjemput tidak sendiri melainkan 4 orang. Korban A dan kakak sepupunya dibawa ke tempat sepi di belakang aneka Pavilion di Jalan Sulawesi.

Setibanya di lokasi, terang Arist, terjadilah cekcok mulut yang dikompori oleh salah seorang siswi yang diduga menjadi provokator yakni SF sehingga mengakibatkan terjadinya adu jotos.

Pelaku lain, NT dan PC juga ikut melakukan kekerasan terhadap A mulai dari membully, menjambak rambut, membenturkan kepala ke aspal hingga menginjak perutnya korban. Ketika A bangun, mukanya pun ditendang dengan sepatu sandal gunung sehingga terjadi pendarahan dalam hidung dan terdapat benjolan dan luka dalam di kepala.

Arist mengatakan, setelah kejadian itu, korban cerita ke sang ibu kalau dirinya dianiaya. Korban depresi, tertekan, trauma berat dan suka mengigau (berhalunisasi) tentang kejadian keji tersebut.

Menurut Arist, sempat ada upaya mediasi antara pihak korban dan para orang tua pelaku. Namun sang ibu korban bersikukuh untuk melanjutkan kasus ini ke jalur hukum.

Informasi yang didapat, jelas Arist, permasalahan ini berawal karena masalah asmara dimana kakak sepupu korban merupakan mantan pacar dari pelaku penganiayaan.

Arist menjelaskan, mengingat pelaku masih dalam status usia anak dan dalam perspektif perlindungan anak masih memerlukan perlindungan, sebagaimana diatur dalam ketentuan UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Distim Peradilan Pidana Anak (SPPA), junto UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perindungan Anak, Komnas Perlindungan Anak mendorong penegak hukum yakni Polresta Pontianak yang menangani perkara penganiayaan ini menggunakan pendekatan keadilan restoratif dalam proses penyelesaiannya.

Arist menambahkan, dengan pendekatan keadilan restoratif tersebut selain meminta pertangungjawaban hukum para pelaku atas tindakan pidananya, pihak kepolisian juga bisa menggunakan pendekatan "diversi" terhadap pelaku berupa sanksi tindakan seperti saksi sosial guna memulihkan harkat dan harga diri korban yang telah dilecehkan dan berdampak efek jera.

Misalnya, kata dia, dengan cara para pelaku meminta maaf secara terbuka kepada korban dihadapan orangtua dan penegak hukum. "Minta maaf dan diikuti dengan mencium kaki korban," kata Arist.