Komnas PA Minta Pemda Tobasa Segera Deklarasikan GPABK

:


Oleh Jhon Rico, Selasa, 9 April 2019 | 09:14 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 277


Jakarta, InfoPublik- Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) meminta agar Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) Sumatera Utara segera mendeklarasikan Gerakan Perlindungan Anak Berbasis Kampung (GPABK) untuk mencegah terjadinya kasus kejahatan seksual anak.

Dalam keterangan yang diterima InfoPublik, Senin (8/4), Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menjelaskan, GPABK harus melibatkan tokoh masyarakat dan adat, alim ulama, gereja, pegiat perlindungan anak, penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim), guru dan pamong desa.

Arist pun mengaku prihatin terkait maraknya kasus kejahatan seksual di Tobasa. "Atas marak dan meningkatnya kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang terdekat korban di Tobasa, adalah menjadi pertanyaan besar. Sedang ada apa terjadi di Tobasa?," ujar dia.

Menurut dia, ada beberapa kasus kejahatan seksual yang baru- baru ini terjadi di Tobasa. Teranyar, kata dia, adalah kasus bocah berusia 6 tahun berinisial TD yang diperkosa tetangganya sendiri berinisial DP (48).

Ia menjelaskan, kasus ini bermula saat korban pulang dari sekolah bersama temannya dan berpapasan dengan terduga pelaku DP (48) yang merupakan tetangganya sendiri.

"Entah apa yang membuat prilaku DP menjadi beringas dan bejat. (Pelaku) menarik korban ke kebon kopi Mual Ganjang di Desa, Pintu Batu, Kecamatan Silaen. Sementara teman korban diminta pelaku DP menunggu korban," tutur Arist.

Usai melakukan perbuatan bejatnya, pelaku mengancam korban agar tidak memberitahukan kepada siapapun termasuk kepada orangtuanya. Pelaku juga sempat memberikan uang Rp.4.000 kepada korban.

Mengetahui kejadian ini, kata Arist, orangtua korban dan warga masyarakat melaporkan terduga pelaku ke Polsek Silaen. Petugas pun langsung menangkap DP di tempat persembunyianya di desa Pintu Bosi Laguboti.

"Saat ini DP sudah diamankan di Polres Tobasa untuk dimintai pertanggungjawaban hukumnya," ujar dia.

Arist pun meminta agar pelaku dijerat dengan ketentuan UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penerapan PERPU No. 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dengan ancaman hukuman minimal 10 tahun maksimal 20 tahun pidana penjara dan dapat ditambahkan 1/3 dari pidana pokoknya menjadi hukuman seumur hidup dan atau hukuman mati.

"Penerapan UU RI No.17 Tahun 2016 ini sangat penting dilakukan penyidik dalam sangkaannya sehingga Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat melakukan tuntutannya secara maksimal," tegas dia.