Setara Institute Apresiasi Sikap Bupati Bantul Terkait Aturan di Dusun Karet

:


Oleh Jhon Rico, Kamis, 4 April 2019 | 10:15 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 436


Jakarta, InfoPublik- Setara Institute memberikan apresiasi kepada Bupati Bantul Suharsono yang langsung mengecam dan meminta aturan diskriminatif di Dusun Karet dicabut.

"SETARA Institute memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Bupati Bantul Suharsono yang langsung mengecam dan meminta aturan diskriminatif di Dusun Karet tersebut dicabut," kata Direktur Riset SETARA Institute, Halili dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/4).

Menurut Halili, sikap Bupati Bantul ini bukan yang pertama menunjukkan kuatnya perspektif toleransi. Sebelumnya sikap dengan nada yang sama juga ditunjukkan dalam kasus penolakan Camat Pajangan oleh warga karena yang bersangkutan non-Muslim.

Juga dalam kasus perusakan persiapan sedekah laut oleh kelompok intoleran. SETARA Institute juga menjurakan tabik kepada Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY, yang melalui Sekda DIY menyampaikan sikap toleran yang sama dan menyatakan bahwa aturan tersebut mesti dibatalkan.

Juga kepada DPRD DIY dan lebih-lebih elemen masyarakat sipil DIY atas inisiatif yang baik untuk menghadirkan keadilan bagi korban.

Ia menjelaskan, setelah sempat ditolak oleh perangkat Rukun Tetangga (RT) 8 dan warga Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul karena yang bersangkutan non-Muslim, akhirnya Slamet Jumiarto dan keluarga diperbolehkan tinggal di dusun tersebut.

Bahkan, kata dia, aturan yang memuat eksklusi sosial atas non-muslim dari dusun tersebut, yaitu Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet, akhirnya dicabut.

Meskipun sebenarnya secara substantif SK tersebut harus batal demi hukum, karena muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori. Hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah.

SETARA Institute menganggap bahwa aturan yang diskriminatif di tingkat lokal bukanlah fenomena tunggal di Pleret. Begitu banyak kebijakan negara yang diskriminatif mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat RT.

Ketentuan-ketentuan demikian, kata Halili, nyata-nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan mengakibatkan luka moral (moral injury) atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan.

Terkait hal ini, SETARA Institute mendesak pemerintah agar menghentikan eksklusi terhadap minoritas, dengan melakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif.

Belajar dari kasus Pleret Bantul, tegas dia, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Dusun Karet.

"Dusun Karet bukan gejala unik. Dalam perkembangan kontemporer, banyak sekali pemukinan yang eksklusif dalam bentuk perumahan-perumahan berdasarkan agama tertentu," tutur dia.

Di dalam iklim kemerdekaan, jelas dia, perumahan eksklusif berdasarkan agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan.

Fenomena ini akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda.

"Pemerintah harus segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama sebab berpotensi merusak kebhinekaan Indonesia," tutup dia.