Jaksa Agung Sebut Berkas Kasus Pelanggaran HAM Berat Perlu Dilengkapi

:


Oleh Jhon Rico, Sabtu, 12 Januari 2019 | 10:46 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 495


Jakarta, InfoPublik- Jaksa Agung HM Prasetyo menanggapi soal pengembalian sembilan berkas kasus pelanggaran HAM berat kepada Komnas HAM.

Menurut HM Prasetyo, pengembalian berkas sembilan kasus pelanggaran HAM berat kepada Komnas HAM karena masih ada petunjuk yang belum dilengkapi.

"Justru petunjuk lama tidak pernah dipenuhi itu laporan dari Jaksa Agung," kata Prasetyo di Jakarta, Jumat (11/1).

Menurut Prasetyo, petunjuk dari waktu ke waktu belum dilengkapi. Bahkan, dalam konsinyasi yang dihadiri pihak Kejagung dan Komnas HAM untuk meneliti berkas masih ada hal-hal yang perlu dilengkapi.

Ia pun menyebut telah meminta Jampidsus untuk menggelar seminar dengan menghadirkan pakar hukum, akademisi dan aktivis HAM untuk membahas hal ini.

Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM Yang Berat belum ada yang berubah.

"Pada tanggal 27 November 2018 Komnas HAM menerima pengembalian 9 berkas perkara pelanggaran HAM yang berat oleh Jaksa Agung disertai dengan petunjuk," kata Taufan.

Menurut dia, terkait hal ini Komnas HAM telah mengembalikan berkas dan memberikan jawaban atas petunjuk tersebut pada akhir Desember, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Ia menyebut, pengembalian berkas dan petunjuknya oleh Jaksa Agung HM Prasetyo merupakan peristiwa yang berulang untuk kesekian kalinya.

Menurut Taufan, berkas perkara yang dikembalikan adalah, peristiwa 1965-1966, peristiwa Talangsari, Lampung 1998, peristiwa
penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Wasior dan Wamena, peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh
dan peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.

Menurut dia, pengembalian berkas dan petunjuknya terdapat beberapa catatan yang penting untuk disampaikan. "Secara substansi belum terdapat kebaruan petunjuk yang disampaikan oleh Jaksa Agung," terang dia.

Secara hukum acara (prosedural), ia menyebut belum terdapat kemajuan yang signifikan menjadi proses hukum yang sesuai dengan UU 26 tahun 2000, khususnya terkait status.

Dari segi waktu, Taufan menyatakan, kurang lebih 4 tahun berkas dari 7 (tujuh) kasus berada di Jaksa Agung (selain berkas Aceh), dengan posisi subtansi dan status hampir sama seperti petunjuk yang diterima pada 27 November 2018 lalu.

"Dalam ketiga catatan penting tersebut dan melihat proses selama satu tahun terakhir Komnas HAM melakukan kerja berdasarkan kewenangannya dan termasuk bertemu dengan Presiden dan Jaksa Agung, ketiga catatan itu memberikan makna serius terhadap
upaya penyelesaian kasus- kasus pelanggaran HAM yang berat," kata dia.

Ia menegaskan, perintah dan komitmen Presiden untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat yang di aktualisasikan minimal pada pertemuan dengan Komnas HAM pada 8 Juni
2018 dan juga disampaikan dalam Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2018, belum dilaksanakan dengan baik oleh Jaksa Agung.

"Hal ini menunjukkan tidak adanya
pengawasan terhadap perintah dan komitment untuk memastikan perintah dan komitment tersebut," pungkas dia.

Kedua, tambah Taufan, ketiga hal tersebut juga mencerminkan bagaimana Jaksa Agung bekerja
menjalankan perintah Presiden dan mewujudkan komitment Presiden.

Menurut dia, Jaksa Agung
memberi kesan tidak melakukan perintah dan komitmen itu dengan baik dan maksimal. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat harus kita letakkan sebagai kepentingan
bangsa dan negara, tidak hanya untuk keadilan korban namun untuk memastikan tidak berulang kembali peristiwa yang sejenis atau sama dikemudian hari.

"Tantangan paling besar dalam penyelesaian berbagai peristiwa tersebut adalah melaksanakan prinsip
sebagai negara hukum sesuai dengan konstitusi, yaitu diselesaikan secara hukum," tutup dia.