Komnas HAM Upayakan Mediasi Pembangunan Bandara New Yogyakarta

:


Oleh Jhon Rico, Selasa, 16 Oktober 2018 | 22:01 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 269


Jakarta, InfoPublik- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tengah mengupayakan penyelesaian melalui mekanisme mediasi terkait adanya penolakan dari warga perihal pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Ini dilakukan Komnas HAM untuk menindaklanjuti pengaduan Paguyuban Warga Menolak Penggusuran Kulon Progo (PWPPKP) yang menolak lahan miliknya masuk dalam proyek pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo. Mereka memilih untuk tetap bertahan di lokasi proyek dengan menempati Masjid Al-Hidayah.

"Komnas HAM RI sesuai dengan mandat yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tengah mengupayakan penyelesaian melalui mekanisme mediasi," kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Beka Ulung Hapsara dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Selasa (16/10).

Menurutnya, pada tanggal 18-20 September 2018, Komnas HAM telah melakukan pertemuan Pra Mediasi dengan warga yang menolak pembangunan Bandara dan melakukan peninjauan di proyek pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo.

Selain itu, lanjutnya, Komnas HAM juga melakukan pertemuan dan komunikasi intensif dengan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta, Polda D.I Yogyakarta, Kapolres Kulon Progo, dan PT Angkasa Purat I (Persero).

Ini dilakukan guna mengupayakan penyelesaian aduan melalui mekanisme mediasi dan meminta pemangku kebijakan untuk mencari alternatif penyelesaian yang mengedepankan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia.

Berdasarkan kegiatan Pra Mediasi, Komnas HAM telah menemukan sejumlah fakta dan data dimana masih terdapat 138 KK yang belum mengambil konsinyasi, dan 68 KK serta 223 jiwa yang menolak pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA).

"Bahwa masih terdapat 18 KK yang memilih untuk tetap tinggal di Masjid Al-Hidayah dan tenda-tenda di sekitar proyek pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA)," terang dia.

Ia menyuebut, di dalam lingkungan proyek pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) terdapat anak-anak yang masih tinggal dan menetap di Masjid AlHidayah.

Terkait hal ini, Komnas HAM meminta agar Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan PT Angkasa Pura I (Persero) untuk menghormati posisi satu sama Iain, terutama kepada warga yang masih menolak proyek pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA);

"Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, PT Angkasa Pura I (Persero) untuk tidak melakukan langkah-langkah kontra produktif selama proses mediasi yang sedang dibangun oleh Komnas HAM RI serta segera mencarikan alternatif penyelesaian yang mengedepankan prinsip dan nilai hak asasi manusia baik bagi warga yang menerima maupun menolak pembangunan Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo," pinta dia.

Komnas HAM juga berharap agar Presiden Republik Indonesia bisa memberikan perhatian lebih terhadap penyelesaian sengketa pembangunan bandara di Kabupaten Kulon Progo dengan mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia agar potensi pelanggaran HAM dalam proses pembangunan dapat diantisipasi.

"Oleh karena itu perhatian dan tindakan segera dari Presiden RI atas nasib warga yang memilih untuk tetap bertahan di areal proyek Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA), merupakan salah satu upaya pemenuhan dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia," tutur dia.

Menurut dia, penyelesaian melalui mekanisme mediasi merupakan salah satu upaya Komnas HAM untuk mewujudkan kondisi yang kondusif bagi peningkatan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia.

Komnas HAM juga senantiasa mendorong para pihak, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengambil kebijakan yang berwawasan HAM guna mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.