Perspektif Hukum Positif Soal Korban Penyalahgunaan Narkotika

:


Oleh Jhon Rico, Selasa, 28 Agustus 2018 | 14:14 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 322


Jakarta, InfoPublik- Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Sulistiandriatmoko menyebut bahwa dalam perspektif hukum positif, pengertian korban penyalahgunaan narkotika adalah sebagaimana yang diatur dalam penjelasan Pasal 54 UU 35/2009 tentang narkotika.

"Yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika," kata Sulis dalam keteranganya, Minggu (26/8).

Jadi, terang Sulis, kalau mengacu pada penjelasan Pasal 54 tersebut tidak ada unsur niat atau sengaja untuk menggunakan narkotika. "Itulah yang disebut sebagai korban penyalahgunaan narkotika," ujar dia.

Sedangkan bagi mereka yang secara aktif menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum, maka kepada mereka tepatnya disebut sebagai penyalahguna. (Pasal 1 angka 15 UU 35/2009 tentang Narkotika).

Sulis menerangkan, terhadap 'Penyalahguna' dikenakan Pasal 127 UU 35/2009, yang diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal 4 tahun apabila menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri.

"Apabila didapatkan alat bukti dan barang bukti lainnya yang mendukung diterapkannya Pasal 112 atau 114 atau Pasal lainnya, maka tidak menutup kemungkinan terhadap Penyalahguna dikenakan Pasa-Pasal pidana selain Pasal 127 tersebut," tuturnya.

Menurut dia, penerapan Pasal 127 juga harus mempertimbangkan pembelakuan Pasal 54, 55, dan 103 UU 35/2009.

Ia beranggapan bahwa saat ini para penyalahguna narkotika lebih takut dengan sanksi sosial dari masyarakat atau stigma negatif masyarakat kalau ketahuan dirinya adalah pengguna.

"Sehingga terjadi para penyalahguna justru malah disembunyikan oleh dirinya sendiri atau oleh keluarganya, inilah yang disebut sebagai hidden victim," tuturnya.

Sejatinya, terang dia, mereka yang notabena adalah korban ketergantungan narkotika tetapi tidak mau secara sukarela datang sendiri ke lembaga rehabilitasi karena takut ketahuan oleh orang lain.

Inilah yang membuat mereka yang datang secara sukarela melapor melalui program Instansi Penerima Wajib Lapor (IPWL) lebih sedikit daripada yang dibawa oleh penyidik melalui proses asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu alias melalui proses tertangkap dan berproses hukum terlebih dahulu.