Catatan Komnas HAM Terkait RUU Tindak Pidana Terorisme

:


Oleh Jhon Rico, Kamis, 24 Mei 2018 | 11:05 WIB - Redaktur: Juli - 285


Jakarta, InfoPublik - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan beberapa catatan terhadap RUU Tindak Pidana Terorisme.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menegaskan, catatan ini merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari sikap dan pandangan Komnas HAM dalam berbagai kesempatan sebelumnya.

"Catatan ini bisa jadi merupakan final proses jika melihat dinamika percepatan pembahasan. Namun demikian kami berharap tetap ada perbaikan pada pasal- pasal pokok yang berhubungan erat dengan Hak Asasi Manusia," kata Anam dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Rabu (23/5).

Ia menyebutkan, pertama adalah hak korban telah diatur cukup baik (Bab VI), bahkan berlaku surut (ketentuan peralihan). Namun demikian masih ada catatan terkait ketidak konsistennya 'kemudahan akses dan prosedur' yang diberikan. Ini terkait kompensasi yang diatur dalam pasal 36.

"Kompensasi harusnya cukup dengan penetapan pengadilan, bukan dengan keputusan pengadilan, karena sifat dan karakter dari tindak pidana terorisme itu sendiri yang memungkinkan pelaku bebas dan atau meninggal dunia," paparnya.

Dalam pasal 36, menurut Anam, sebenarnya juga telah disadari karakter tersebut. Namun masih diutamakan dalam keputusan pengadilan.

Komnas HAM menyarankan kompensasi bagi korban cukup dengan penetapan Pengadilan. Disamping terkait penetapan tersebut, terangnya, perlu segera dirumuskan standar minimum hak korban. Khususnya terkait item- item kompensasi yang harus diterima oleh korban.

Kedua, terkait definisi yang digunakan dalam draft 14 Mei telah menghilangkan beberapa kata yang penting, antara lain motif dan politik.

Menurutnya, hilangnya kata motif sangat baik bagi penegakan hukum, mempermudah pemenuhan unsur tindak pidana dan lebih jauh lagi memudahkan proses akuntabilitas.

"Di beberapa kasus 'motif' ini menjadikan penegakan hukum melebar keberbagai masalah lain dan potensial melanggar hak asasi manusia," terangnya.

Ia menyebut bahwa kata politik dihapus juga merupakan proses yang baik, karena mencegah penyalahgunaan kewenangan guna kepentingan politik.

Ketiga, soal penangkapan (Pasal 28). Untuk mencegah pelanggaran HAM, kata dia, pasal terkait penangkapan ini perlu untuk memperhatikan beberapa hal. Pertama, merevisi lamanya waktu. Walau dalam draft ini sudah ada pengurangan waktu, namun masih dirasa terlalu lama.

Karena, menurut Anam, penangkapan ini telah dilakukan dengan bukti permulaan yang cukup. Artinya kontruksi tindak pidana yang dilakukan telah ada dan terumuskan. Kedua, harus jelas status selama penangkapan itu apa. Tidak ada penjelasan apapun dalam RUU tersebut apakah sebagai tahanan atau orang yang ditangkap namun dirampas kemerdekaan fisiknya selama sekian waktu.

Disamping itu juga, menurutnya, perlu untuk dituliskan dalam pasal 28 ini, dimana orang yang ditangkap tersebut ditahan atau dirampas kemerdekaan fisiknya. "Ini penting untuk akuntabilitas dan menghindari pelanggaran HAM," ujarnya.

Memang dalam pasal ini telah dinyatakan dilakukan sesuai prinsip HAM dan akan mendapat sanksi jika melanggar. Namun, tambahnya, alangkah lebih baik jika apa yang disebut sebagai prinsip HAM ditulis secara konkret.

Keempat, soal penyadapan (pasal 31 ,31 a). Ia menjelaskan, problem mendasar penyadapan ini jauh dari kerangka penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik. Karakternya masih dalam kerja intelijen.

Menurut dia, kerangka kerja penyidik adalah menemukan dan atau memperkuat barang bukti yang telah dan jika diperlukan karena sifat tindak pidananya bersama sama mengkontruksikan pelaku Iainnya. Kerangka kerja ini dalam konteks pidana memilki prinsip, waktu yang terbatas, sifat cepat diadili dan efektif.

"Ini bertentangan dengan lamanya waktu penyadapan oleh penyidik sampai 2 tahun (1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun)," terang Anam.

Kelima, terkait pelibatan TNI (pasal 43 j). Komnas HAM pada intinya meletakkan RUU ini sebagai RUU penegakan hukum, yang dapat menjalankan penegakan hukum hanya penegak hukum itu sendiri.

Oleh karenanya, kata dia, pengaturan pelibatan TNI dalam RUU tindak pidana terorisme yang notabene kerangkanya adalah penegakan hukum, kurang tepat.

Menurutnya, pelibatan TNI harus disesuaikan dengan tupoksinya yang telah diatur dalam UU TNI. "Penting dalam pelibatan ini adalah pengaturan skala ancaman, obyek vital, penindakan, sifat sementara dan merupakan keputusan politik," terangnya.

Keenam adalah soal pengawasan (pasal 43 i ). Adanya mekanisme pengawasan dalam RUU ini menjadi sesuatu yang baik. Namun demikian, kata dia, pengawasan ini harusnya juga melibatkan lembaga yang terkait.

Dalam RUU ini beberapa prinsip kerja dinyatakan harus sesuai. Oleh karenanya penting untuk menegaskan KOMNAS HAM masuk dalam mekanisme pengawasan yang diatur dalam pasal 43 i tersebut , yang bisa berkerja secara independen dan dapat bekerja sama dengan pengawasan DPR.

"Komnas HAM berharap dalam waktu yang sangat singkat ini, beberapa masukan perbaikan terhadap RUU Tindak Pidana Terorisme tersebut dapat dilakukan, seperti telah terjadi dalam beberapa tema atau pasal sebelumnya," tutupnya.