Saksi Ahli: Pencabutan Badan Hukum HTI Sudah Sesuai UU

:


Oleh Untung S, Jumat, 16 Maret 2018 | 08:49 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 451


Jakarta, InfoPublik - Tiga saksi yang dihadirkan tim Kuasa Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sepakat menyatakan pencabutan badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sudah tepat dilakukan pemerintah.

Sidang atas gugatan yang diajukan HTI atas pencabutan dan pembubaran status badan hukumnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, kembali digelar pada Kamis (15/3). Tim Kuasa Hukum Kemenkumham dalam sidang kali ini menghadirkan tiga saksi ahli hukum, yaitu Prof Philipus M Hadjon, Ahli Hukum Administrasi Negara, KH Ahmad Ishomuddin, Rois Syuriah PBNU dan seorang Ahli Politik Islam.

Dalam kesaksiannya, Prof Philipus M Hadjon berpendapat yang menjadi parameter atas legalitas suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peraturan Perundang-Undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Pencabutan Status Badan Hukum dari HTI kata Philipus, sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan, yakni berdasarkan Perppu Ormas No.2 Tahun 2017 yang pada tanggal 23 Oktober 2017 lalu telah disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017.

Pencabutan Status Badan Hukum HTI juga dilakukan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah Menkumham R.I. Keputusan tersebut sesuai dengan Pasal 63 Perppu Ormas yang saat ini telah disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017.

Dijatuhkannya hukuman berupa sanksi administratif, ujar dia, bertujuan untuk menghentikan terjadinya pelanggaran-pelanggaran berupa hal-hal/aktivitas ormas yang bertentangan dengan Pancasila.

Tak berbeda dengan Philipus, KH Ahmad Ishomuddin, ahli agama Islam yang juga Rois Syuriah PBNU, di dalam persidangan menjelaskan bahwa HTI merupakan organisasi politik dan bukanlah organisasi dakwah, bukan pula organisasi agama. 

Menurutnya, aktivitas Hizbut Tahrir adalah aktivitas politik. Oleh karenanya, semua aktivitas Hizbut Tahrir adalah aktivitas politik, baik itu di dalam hukum maupun di luar hukum. Politik yang di dalamnya mengandung unsur ajaran Islam untuk diwujudkan dan ditegakkan dalam model negara Daulah Islamiyyah.

Sebagai suatu partai politik, Hizbut Tahrir memiliki maksud untuk membentuk pemerintahan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga termasuk partai politik, karena ia menjadi bagian dari Hizbut Tahrir sebagai suatu Partai Politik Islam Internasional. Secara nyata, kata dia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berupaya melanggar konsensus nasional dalam hal ini adalah eksistensi tegaknya NKRI.

"Fakta sejarah telah kita ketahui bahwa kedaulatan dan keutuhan NKRI sebagai warisan ulama NU dan seluruh Pendiri Bangsa,” tegas Ishomuddin.

Dengan demikian, berdasarkan pandangan hukum positif yang berlaku di NKRI dan hukum Islam, maka kewajiban mempertahankan eksistensi NKRI adalah wajib 'ain. NKRI merupakan negara yang sah, dengan seluruh wilayah kedaulatannnya.

NKRI kata dia, merupakan hasil konsensus nasional sekaligus wujud kesepakatan seluruh Rakyat Indonesia dalam mendirikan NKRI dan merumuskan serta menetapkan

Pancasila sebagai Staats Fundamental Noorm (Norma Dasar Bernegara). Ini adalah kesepakatan final bangsa Indonesia.

Sebaliknya, Ishomuddin menyayangkan dengan apa yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Karena akrivitasnya, mengekspresikan bentuk-bentuk pengkhianatan atas konsensus nasional. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berniat mengubah NKRI menjadi negara khilafah. 

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) justru memperjuangkan tegaknya sistem khilafah dan bentuk negara khilafah islamiyyah di NKRI. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah satu-satunya organisasi Islam yang dikendalikan Hizbut Tahrir (organisasi politik Islam Internasional) untuk mendirikan negara trans-nasional Islam.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara tegas menolak sistem demokrasi. Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas sistem tersebit jelaslah tidak sejalan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dalam Negara Hukum. Fakta ini, kata dia, merupakan penghianatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap konsensus kebangsaan sekaligus membuktikan perlawanannya kepada kesepakatan final seluruh rakyat Indonesia tentang bentuk negara kita "NKRI".

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melarang kecintaan kepada tanah air (nasionalisme). Penegakan kembali Khilafah Islamiyyah akan sangat mengancam keutuhan NKRI. Penegakan Khilafah Islamiyyah di saat negara-negara di dunia telah menjadi nation state yang sesuai dengan kesepakatan masing-masing merupakan ilusi. 

Dalam proses tersebut akan terjadi proses perebutan kekuasaan, perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem khilafah  yang sebagaimana diperjuangkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hal ini yang menurut Ishomuddin berpotensi besar mengakibatkan perpecahan, konflik dan bahaya besar lainnya terhadap eksistensi NKRI. 

Tidak ada sejengkal wilayah, kekuasaan, maupun kedaulatan NKRI yang akan diserahkan secara damai kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena NKRI dan negara-negara yang ada di dunia tidak dapat dibubarkan.

Bahkam pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas mengatur mengenai negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk Republik, dan mutlak tidak dapat diubah. Pancasila sebagai dasar dan falsafah NKRI mengikat seluruh warga negara dan bangsa Indonesia yang majemuk, bersatu dan hidup rukun damai dalam bingkai NKRI. "Mempertahankan NKRI adalah Jihad Fisabilillah,” tutup Ishomuddin.