Awal Kesepakatan Pengaturan Anggaran E-KTP Dibuka di Sidang

:


Oleh Untung S, Kamis, 9 Maret 2017 | 10:41 WIB - - 280


Jakarta, InfoPublik - Pembacaan dakwaan dua terdakwa kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik (e-KTP) periode 2011-2012 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (9/3), membuka tabir awal cerita bagaimana akhirnya ada kesepakatan pembagian uang, pengaturan anggaran hingga pelaksanaan proyek ini.

“Pada Februari 2010, terdakwa satu Irman dimintai sejumlah uang oleh Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Burhanudin Napitupulu agar usulan Kemendagri tentang KTP-E segera disetujui DPR. Atas permintaan itu terdakwa menyatakan tidak dapat menyanggupi. Karena itu Burhanuddin dan terdakwa I sepakat untuk melakukan pertemuan kembali,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irene Putri saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/3), untuk dua terdakwa mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman.

JPU menuturkan satu minggu kemudian Irman kembali menemui Burhanudin di ruang kerjanya dan disepakati akan memberikan sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR oleh pengusaha yang sudah biasa menjadi rekanan di Kemendagri, yaitu Andi Agustinus alias Andi Narogong, dengan persetujuan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini.

Beberapa hari selanjutnya, Andi menemui Irman dan Sugiharto di ruang kerja Irman untuk menindaklanjuti pembicaraan Irman dengan Burhanuddin dan menegaskan Andi bersedia memberikan uang kepada anggota Komisi II untuk memperlancar pembahasan anggaran dan berkoordinasi dengan Pejabat Pembuat Komitmen proyek KTP-E Sugiharto untuk menindaklanjuti rencana itu.

Andi dan Irman juga sepakat akan menemui Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar guna mendapat kepastian dukungan Partai Golkar terhadap KTP-E. Pertemuan dilangsungkan beberapa hari kemudian sekitar pukul 06.00 Wib di Hotel Gran Melia yang dihadiri Irman, Sugiharto, Andi Agustinus, Diah Anggraini dan Setya Novanto. Dalam pertemuan itu Novanto menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan e-KTP.

Guna mendapat kepastian Novanto, beberapa hari kemudian Irman dan Andi Agustinus kembali menemui Novanto di ruang kerjanya di lantai 12 DPR. Dalam pertemuan itu, Novanto menyatakan akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya.

Pada Mei 2010 di ruang kerja Komisi II DPR sebelum RDP, Irman bertemu dengan Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, M. Nazaruddin, Andi Agustinus dan sejumlah anggota Komisi II DPR saat itu Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Efendi, Teguh Djuwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni dan Arief Wibowo untuk membahas program KTP-E sebagai program prioritas utama yang dibiayai menggunakan APBN murni secara "multiyears".

Pertemuan juga menyepakati Andi Agustinus yang akan mengerjakan proyek KTP-E karena sudah terbiasa di Kemendagri. Mustoko Weni selanjutnya memberi garansi Andi akan memberikan fee kepada anggota DPR dan beberapa pejabat di Kemendagri, Andi pun membenarkannya.

DPR mulai melakukan pembahasan Rencana APBN 2011 pada Juli-Agustus 2010. Andi Agustinus beberapa kali bertemu Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Nazaruddin karena dianggap merepresentasikan Partai Demokrat dan Golkar yang dapat mendorong Komisi II menyetujui KTP-E.

Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya DPR menyetujui anggaran KTP-E dengan rencana besar tahun 2010 senilai Rp5,9 triliun yang proses pembahasannya akan dikawal Fraksi Partai Demokrat dan Golkar dengan kompensasi Andi memberikan fee kepada anggota DPR dan pejabat Kemendagri.

Berikut kesepakatan pembagian anggaran proyek itu yakni 51 persen atau Rp2,662 triliun digunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek, Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat Kemendagri, termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar, Anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau Rp261 miliar.

Setya Novanto dan Andi Agustinus sendiri sebesar 11 persen atau Rp574,2 miliar, Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen atau Rp574,2 miliar serta keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen atau Rp783 miliar.

Selain kesepakatan pembagian keuntungan dalam pertemuan juga disepakati sebaiknya pelaksana atau rekanan proyek adalah BUMN agar mudah diatur. Dari hitungan KPK sementara akibat kasus ini telah mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp2,314 triliun.