Polemik Tarif Tiket dan Bagasi Tanggung Jawab Semua Cerdaskan Konsumen

:


Oleh Dian Thenniarti, Kamis, 7 Februari 2019 | 16:05 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 539


Jakarta, InfoPublik - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai, fenomena banyaknya pengguna jasa transportasi udara di Indonesia yang kaget akan meroketnya harga tiket pesawat saat ini, ditambah lagi kebijakan bagasi berbayar untuk maskapai LCC (Low Cost Carrier) merupakan akibat nihilnya sosialisasi kepada publik terkait hal ihwal kebijakan dan regulasi penerbangan di Indonesia.

"Sosialisasi itu mustinya menjadi tanggung jawab operator penerbangan, regulator/pemerintah, plus asosiasi penerbangan (INACA)," ucap Tulus, Rabu (6/2).

Semenjak pemerintah melakukan deregulasi sektor penerbangan, lanjut Tulus, dengan ditandai booming maskapai berbasis LCC; pemerintah, operator dan asosiasi penerbangan sangat minim mencerdaskan konsumen. 

Sementara di sisi lain, konsumen tahunya tiket pesawat itu murah. Tetapi, tidak mengerti kenapa murah, karena sangat minim sosialisasi dan edukasi. 

Lebih lanjut Tulus menjabarkan, seiring dengan itu, untuk bertarung di ranah bisnis dan industri pesawat yang penuh persaingan, semua maskapai bertarung sengit, bahkan akhirnya bersaing secara tidak sehat. Misalnya, menurunkan harga tiket semurah mungkin dan menggratiskan bagasi (yang sejatinya tidak gratis bagi LCC). Itu semua dilakukan demi menggaet sebanyak mungkin konsumen. 

"Dan kini, para pebisnis maskapai pesawat tampaknya mulai berbalik arah meninggalkan konsumen. Dalam hal ini, jika ditelisik, setidaknya ada dua alasan. Pertama, tekanan eksternal yang sangat kuat dan berdampak terhadap biaya operasional, misalnya, melambungnya harga avtur, kurs mata uang dollar terhadap rupiah, inflasi, tuntutan upah tenaga kerja (pilot), dan ketatnya persaingan di industri penerbangan, baik di level nasional dan atau regional," ujar Tulus. 

Namun sayangnya, lanjut Tulus, pasar konsumen sudah terbentuk. "Ibarat merokok, konsumen sudah addict (kecanduan) terhadap moda transportasi udara, karena murah. Dengan demikian, konsumen seperti di sandera pada pilihan sulit, bahkan no choice."

Kalaupun benar, kenaikan tarif tiket penerbangan itu belum menyundul Tarif Batas Atas (TBA), namun dalam konteks Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jernih dan jujur, serta berhak atas edukasi dan advokasi (Pasal 4).

"Namun, transformasi ini seharusnya tidak boleh diberlakukan secara tiba-tiba, tetapi secara gradual. Sebab, dengan tiket pesawat mahal dan bagasi berbayar yang berdarah-darah bukan hanya konsumen, sektor pariwisata, industri UKM/UMKM, perhotelan juga akan terdampak. Bahkan, pengelola bandara yakni Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II pun potensi pendapatannya mulai terjun bebas," kata Tulus. 

Pasalnya, ribuan jadwal penerbangan dibatalkan karena sepi penumpang. Manajemen PT Angkasa Pura I mengaku sejak tiket pesawat mahal dan bagasi berbayar, potensi pendapatan yang hilang sebesar Rp170 miliar. 

Di sisi lain, industri penerbangan juga harus mewaspadai eksistensi tol Trans Jawa dan Trans Sumatera. 

Eksisnya kedua akses tol ini akan mendorong migrasi penumpang pesawat menjadi pengguna jalan tol, khususnya ke Yogyakarta, Semarang, Solo, bahkan Surabaya. Ke arah Sumatera, waspadai destinasi Lampung, Palembang, Bengkulu, Jambi, Padang, bahkan Medan.

"Diperlukan kecerdasan dan kreativitas tingkat tinggi dari regulator dan operator penerbangan. Kita paham industri penerbangan adalah industri yang padat teknologi dan padat modal. Di perlu kan tarif dan kebijakan ideal untuk menopang keberlangsungan bisnisnya," ucap Tulus. 

Namun di luar negeri, bahkan tarif pesawat tidak diatur regulator, bebas. Namun, faktor inefisiensi dalam industri penerbangan seharusnya tidak di bebankan dalam komponen tarif. 

Sementara itu, konsumen juga berhak terbang dengan tarif yang fair, rasional, dan terjangkau (affordability), tanpa mengabaikan aspek safety dan services yang terukur. 

Di perlukan sosialisasi dan konsolidasi serius agar ekuilibrium baru bisnis penerbangan tidak saling mematikan akibat perilaku bisnis yang kanibalistik. 

Citilink Tunda Bagasi Berbayar Hingga Batas Waktu Yang Belum Ditentukan

Sementara itu, beberapa waktu lalu, Citilink Indonesia telah menyatakan, menunda kebijakan pemberlakuan bagasi berbayar, yang semula sudah disampaikan kepada publik akan diterapkan mulai 8 Februari 2019.

Melalui VP Corporate Secretary Citilink Indonesia, Resty Kusandarina mengatakan, pemberlakuan pengenaan biaya bagasi ini akan menunggu hasil evaluasi atau kajian lebih lanjut dari Kementerian Perhubungan RI, untuk kemudian disosialisasikan lebih lanjut kepada masyarakat. 

Namun, sosialisasi mengenai rencana pengenaaan biaya bagasi berbayar masih terus dilakukan sebagai langkah edukasi kepada masyarakat atas kebijakan yang didasari oleh PM 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Lion Air Sediakan Prepaid Baggage

Sementara dari Lion group (Lion Air dan Wings Air), meski tetap menerapkan pemberlakuan bagasi berbayar, namun pihaknya telah menyiapkan layanan pre-paid baggage/PB (bagasi bayar dimuka) atau dibeli maksimal enam jam sebelum penerbangan sebagai solusi meringankan tarif bagasi.

Layanan Prepaid Baggage ini sebenarnya telah ada sejak lama, hanya saja sosialisasinya kembali di gaungkan agar masyarakat mengetahui.