Harapan TKI dan BMI Untuk Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan

:


Oleh H. A. Azwar, Senin, 4 Desember 2017 | 22:26 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 980


Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita di luar negeri adalah warga negara Indonesia yang berhak atas jaminan sosial seperti yang diamanatkan oleh UU No. 40 tahun 2004 jo. UU No. 24 Tahun 2011. Selama ini proteksi TKI hanya didasarkan pada Permenakertrans No. 1 tahun 2012 (perubahan dari Permenakertrans No. 7 tahun 2010) tentang Asuransi TKI, yaitu perlindungan TKI yang dilakukan oleh konsorsiun asuransi TKI. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kehadiran konsorsium TKI ini tidak memberikan manfaat signikan dan kemudahan bagi TKI untuk mendapatkan hak-haknya ketika mengalami masalah. Oleh karena itu memang sudah seharusnya jaminan sosial TKI diintergrasikan  ke BPJK Ketenagakerjaan.

Adapun alasan jaminan sosial TKI seharusnya diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaan yaitu karena:

  1. Perintah UUD 1945 bahwa jaminan sosial adalah hak seluruh rakyat Indonesia, yang oleh UU No. 40 tahun 2004, dalam salah satu prinsipnya, disebutkan sebagai kepesertaan wajib. Jadi, TKI sebagai WNI berhak atas jaminan sosial dan wajib diikutsertakan. Bahwa, selain itu, sesuai UU No. 40 tersebut juga penyelenggaraan jaminan sosial diamanatkan dilakukan oleh lembaga yang berorientasi nirlaba bukan oleh lembaga pencari keungtungan. Bahwa penyelenggaraan jaminan sosial TKI oleh konsorsium asuransi yang berorientasi keuntungan sebenarnya sudah menyalahi UU No. 40 tahun 2004 jo. UU No. 24 Tahun 2011.
  2. Bahwa dengan diintegrasikannya Jaminan Sosial TKI ke BPJS Ketenagakerjaan, maka aspek gotong royongnya akan semakin signifikan. Dengan jumlah TKI sebanyak 6 juta jiwa di luar negeri maka akan semakin banyak pekerja Indonesia yang akan bergotong royong melaksanakan jaminan sosial. Dengan jumlah yang semakin besar ini maka ketahanan dana jaminan sosial akan semakin besar lagi dan potensi peningkatan perlindungan semakin terbuka lebar.
  3. Bahwa selama ini pelayanan yang dilakukan konsorsium asuransi TKI sangat rendah. Banyak TKI tidak mendapatkan hak2nya ketika mendapat masalah, baik karena ketidaktahuan, masalah administratif maupun masalah waktu klaim. Hal ini membuat konsorsium asuransi mendapat keuntungan yang besar.

Data BNP2TKI tahun 2014 mencatat Rekapitulasi Premi dan Peserta Asuransi sejak Januari-Agustus 2014 pada 3 konsorsium asuransi TKI yaitu Mitra TKI berjumlah 124.903 (total penerimaan Rp49.961.200.000) dengan bayar klaim hanya Rp1.101.865.404 sehingga rasio klaim hanya 2.2 persen. Untuk Asuransi Jasindo 185.890 peserta dengan total penerimaan Rp74.356.000.000 namun membayar klaim hanya sebesar Rp3.446.531.430 atau rasio klaim sebesar 4.6 persen. Asuransi Astindo menerima 100.897 TKI dengan total penerimaan Rp40.358.800.00 namun klaim yang dibayar hanya Rp2.242.562.715, atau klaim rasio sebesar 5.5 persen.

Oleh karena itu rencana pemerintah Cq. Kementerian Ketenagakerjaan RI menerbitkan Permenaker terkait Jaminan Sosial TKI dengan mengintegrasikan pengeolaannya ke BPJS Ketenagakerjaan adalah hal yang baik dan perlu didukung.

Namun demikian Permenaker yang sedang dalam proses pembuatan tersebut hendaknya:

1. Kemnaker melibatkan para stakeholder untuk memberikan masukan sehingga Permenaker ini nantinya akan menjadi lebih baik dibandingkan Permenaker sebelumnya yang menggunakan konsorsium asuransi, tentunya hal ini mengacu pada amanat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Regulasi.

Beberapa contoh materi Permenaker yang perlu diperbaiki adalah soal jangka waktu pertanggungan. Bila di Permenaker lama, untuk pra penempatan, paling lama 5 bulan sejak penandatanganan perjanjian penempatan. Untuk masa penempatan paling lama 24 bulan dan untuk masa purna penempatan paling lama 1 bulan sejak berakhirnya perjanjian kerja yang terakhir atau TKI tiba di daerah asal dengan ketentuan tidak melebihi 1 bulan sejak perjanjian kerja terakhir berakhir. Hendaknya jangka waktu pertanggungan bisa diperpanjang mengingat masalah TKI sangat kompleks. Demikian juga dengan masa pengajuan klaim yaitu selambat-lambatnya 12 bulan sejak terjadinya resiko yang dipertanggungkan, hendaknya juga bisa diperpanjang.

2. Bahwa permenaker baru tersebut juga harus memberikan perlindungan TKI dalam tiga periode. Seperti kita ketahui perlindungan TKI selama ini dibagi menjadi tiga periode yaitu Pertama, pra penempatan yakni kalau TKI meninggal dunia, sakit, kecelakaan, tindak kekerasan fisik dan pemekorsaan. Kedua, masa penempatan yakni gagal ditempatkan, meninggal dunia, sakit, kecelakaan di dalam dan di luar jam kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum berakhirnya perjanjian kerja, menghadapi masalah hukum, gaji tak dibayar, tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan.Dan, Ketiga, purna penempatan yakni meninggal dunia, sakit, kecelakaan, kerugian atas pihak lain selama perjalanan pulang ke daerah asal dan tindak kekerasan fisik, psikis dan/atau seksual.

Mengingat UU SJSN dan UU BPJS hanya mengatur 4 program di BPJS Ketenagakerjaan sementara jaminan perlindungan untuk TKI ada yang belum disebutkan dalam UU No. 40 dan UU No. 24, maka hendaknya program-program jaminan sosial bagi TKI yang diluar 4 program tersebut diatur di UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Oleh karena itu percepatan penyelesaian Revisi UU No. 39 tahun 2004 di DPR sangat diharapkan segera selesai sehingga seluruh jaminan sosial bagi TKI bisa dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan legitimasi regulasi yang ada.

3. Tentunya pelaksanaan jaminan sosial bagi TKI  ini pun harus dikelola secara on line sehingga para TKI bisa berkomunikasi dengan BPJS Ketenagakerjaan ketika masih bekerja di luar negeri.

4. Proses sosialisasi sangat dibutuhkan ketika Permenaker ini disyahkan sehingga para TKI kita mengetahui dengan baik. Hal ini sangat mendukung proses klaim oleh para TKI ketika mengalami masalah.

Pengintegrasian jaminan sosial TKI ke BPJS Ketenagakerjaan merupakan salah satu bentuk perbaikan perlindungan para TKI kita saat ini. Sebenarnya pengintegrasian perlindungan TKI ini juga harus didekatkan dengan program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Memang tentunya jaminan kesehatan TKI di luar negeri belum bisa dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan namun perlindungan kesehatan bagi keluarga TKI yang tinggal di Indonesia tentunya juga harus diperhatikan. Selain itu bila TKI pulang dari luar negeri karena tidak bekerja lagi maka bisa tetap dijamin BPJS Kesehatan paling lama 6 bulan sejak pulang ke Indonesia.

 

Beberapa Masukan dan Pertimbangan Kebijakan Guna Sukseskan Jaminan Sosial

 

Bagi Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, banyak masalah yang muncul ketika asuransi TKI atau Buruh Migran Indonesia (BMI) dikelola oleh konsorsium asuransi swasta. Baik dari masalah konseptual hingga teknis pelaksanaan di lapangan terpaparkan oleh BMI ketika dirinya berdiskusi dalam forum seminar yang diselenggarakan di Rayson Huang Theatre, Main Campus, Hong Kong University.

Beberapa masalah dan harapan BMI di Hong Kong terkait jaminan sosial yang baru bagi BMI tersebut yakni:

Pertama, ketika menginformasikan tentang Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 7 tahun 2017 tentang jaminan sosial bagi BMI kepada para BMI di Hong Kong, sebagian besar tidak tahu tentang BPJS Ketenagakerjaan. Kalau pun tahu, yang mereka tahu adalah BPJS Kesehatan. Secara umum respon para BMI tentang regulasi baru ini ya biasa-biasa saja karena mereka belum tahu, dan kalau pun ada yang tahu (terutama pengurus organisasi BMI) maka respon yang diberikan malah negatif.

Kedua, masalah utama bagi BMI adalah ketidaktahuan mereka tentang jaminan sosial tersebut serta manfaatnya. Selama ini, di era konsorsium asuransi swasta, tidak ada pengetahuan dan informasi tentang asuransi tersebut sehingga BMI tidak mengetahuinya secara pasti. Yang mereka tahu adalah bayar Rp400 ribu sebagai syarat berangkat, bukan tentang jaminan sosial. Kalau pun mereka belum bayar ketika berangkat maka pembayarannya diambil dari potongan upah BMI selama 6 bulan.

Ketika mereka di tempat penampungan sebelum berangkat, mereka tidak menerima sosialisasi sehingga mereka tidak tahu hak-hak mereka. Mereka hanya menurut saja apa yang dikatakan oleh orang PT (sebutan untuk orang PJTKI). Tidak pernah tahu  tentang polis asuransi, tidak tahu manfaat yang didapat serta tidak tahu proses klaimnya apalagi dokumen-dokumen dipegang oleh PT.

Mereka menantang dan bertanya, apa BPJS Ketenagakerjaan mau pro aktif melakukan sosialisasi langsung kepada BMI sebelum berangkat atau sosialisasi di negara penempatan atau sosialisasi melalui media cetak, televisi, radio atau selebaran? Apa BPJS Ketenagakerjaan akan sama saja dengan konsorsium asuransi swasta? Kalau iya berarti tidak ada perubahan untuk mendukung kesejahteraan BMI.

BMI berharap BPJS Ketenagakerjaan pro aktif melalukan sosialisasi, memberikan kartu kepesertaan langsung kepada mereka, memberikan buku petunjuk sehingga bila terjadi masalah baik sebelum, saat penempatan maupun paska penempatan para BMI akan dengan mudah mendapatkan manfaatnya.

Ketiga, banyak terjadi masalah dengan dokumen-dokumen BMI pada saat mau klaim. Mereka bilang dokumen sering dipalsukan sehingga tidak bisa mengklaim, apalagi polis asuransi dan dokumen  dipegang PJTKI. Terkait dokumen palsu, selama ini mereka tidak tahu karena yang mengurus asuransi swasta selama ini adalah PJTKI sementara BMI tidak disertakan.

Bila dalam Permenaker No. 7 tahun 2017 disebutkan PJTKI yang mendaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan pada saat awal maupun perpanjangan, maka mereka khawatir dokumen-dokumen akan dipalsukan juga sehingga mereka nanti sulit mengklaim. Memberikan peran utama kepada PJTKI dalam proses-proses tersebut akan berpotensi mempersulit BMI.

Keempat, BMI di Hong Kong menyesali isi Permenaker No. 7 tahun 2017 yang hanya memuat program jaminan sosial sebatas JKK, JKm dan JHT sementara manfaat lainnya seperti penganiayaan, gagal berangkat, PHK, pemerkosaan dan sebagainya yang sebelumnya dicover oleh Permenakertrans No. 1 tahun 2012 ternyata tidak ada di Permenaker No. 7 tahun 2017. Para BMI tetap meminta agar pemerintah tidak mengurangi hak-hak jaminan sosial mereka sesuai Permenakertrans No. 1 tahun 2012. Revisi UU No. 39 tahun 2004 diharapkan bisa memuat jaminan sosial yang ada di Permenakertrans No. 1 tahun 2012.

Kelima, Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang diatur dalam PP No. 44 tahun 2015 tidak disertakan di Permenaker No. 7 tahun 2017 sehingga BMI tidak mendapatkan PAK. Padahal banyak BMI mengalami sakit akibat kerja yang diketahui setelah pulang dari luar negeri.

Tentunya, harapan para BMI tersebut adalah hal yang baik, yang memang harus diperhatikan oleh pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan sehingga jaminan sosial menjadi kebutuhan mereka dan tumpuan bagi BMI untuk meningkatkan kesejahteraan BMI. Jangan jadikan jaminan sosial sebagai basa basi semata, hanya sebagai sarana mengumpulkan dana BMI tanpa mampu meningkatkan kesejahteraan BMI.