Aturan Adat Nias, Potret Kebijaksanaan Manusia Langit

:


Oleh R Nuraini, Sabtu, 31 Agustus 2019 | 11:21 WIB - Redaktur: Admin - 8K


[udquote]Agaknya, sejak masa prasejarah hingga milenial, tujuan penciptaan aturan tidaklah berubah. Tidak semata untuk menjatuhkan tuntutan, tapi juga untuk mendidik warga bangsa tentang nilai-nilai positif yang harus senantiasa dijadikan panduan kehidupan. [/udquote]

JPP, JAKARTA - Alkisah, seorang pemuda bernama Mahendra, yang merupakan sosok arkeolog muda, berusaha melepaskan diri dari kungkungan peradaban kampusnya. Ia diceritakan kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman Pulau Nias, yang bukan kampung biasa. Pasalnya, Banuaha diyakini oleh para penduduk asli kepulauan itu sebagai tempat tempat turunnya manusia dari langit.

Di kampung istimewa itu, Mahendra dituturkan banyak belajar soal persamaan dan perbedaan antara dua dunia, yakni dunia kampusnya di Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha. Persamaan dan perbedaan itu menyangkut prinsip hidup-mati, harga diri, pesta, juga soal perempuan.

Mahendra adalah sebuah salah satu tokoh rekaan yang ada dalam sebuah sebuah novel etnografis berjudul Manusia Langit (ML), karya JA Sonjaya. Dalam novel itu, penulis cukup piawai menyemaikan kultur Nias yang eksotik, dan menyandingkannya dengan kehidupan kampus yang penuh romantika, sehingga secara umum memunculkan kisah cinta penuh keharuan.

Itu bukan tanpa sebab. Sonjaya yang berprofesi sebagai dosen mata kuliah arkeologi di UGM sejak 2002 memang sempat secara intensif melakukan penelitian tentang masyarakat Nias. Dan Manusia Langit merupakan hasil penelitiannya di bertolak dari pengamatan Sonjaya di Desa Sifalago Gomo, Kecamatan Boronadu, Nias. Menyusul itu, Sonjaya pun mendapat kehormatan dikukuhkan sebagai anggota keluarga masyarakat Nias dan diberi nama Ama Robi Hia.

Herman Didipu, dalam sebuah tulisan ilmiah bertajuk Representasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Suku Nias dalam Novel Manusia Langit Karya JA Sonjaya (Kajian Antropologi Sastra), mengatakan bahwa melalui analisis isi terhadap Manusia Langit, setidaknya ditemukan potret enam nilai budaya yang ada di masyarakat Suku Nias.

“Pertama, menjunjung tinggi martabat perempuan. Kedua, menghormati orang-orang berstatus tinggi. Ketiga, menjunjung tinggi martabat dan wibawa. Keempat, musyawarah dan mufakat. Kelima, nilai-nilai kekerabatan dan persaudaraan dalam adat. Keenam, menghargai tamu,” begitu menurut Didipu.

Martabat Perempuan

\"\"

Secara khusus, nilai budaya masyarakat yang menjunjung tinggi martabat perempuan, menjadi menarik untuk dipotret. Pasalnya Suku Nias, seperti kebanyakan suku di Indonesia, bergaris lelaki (patrilineal). Yakni, di mana khususnya terkait waris, pengaruh lelaki lebih menonjol ketimbang perempuan.

“Menjunjung harkat dan martabat perempuan sebagai salah satu kelompok budaya yang hingga saat ini masih kokoh dengan berbagai pola kebudayaannya, masyarakat suku Nias diikat oleh seperangkat aturan yang terus dijaga dan dilaksanakan secara konsisten oleh masyarakat setempat,” tutur Didipu.

Salah satu nilai itu tercermin dalam aturan tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Di mana, walaupun perempuan di Nias memiliki tugas dominan melaksanakan berbagai urusan keluarga, tidak berarti bisa diperlakukan semena-mena.

Sebaliknya, perempuan di Nias bahkan sangat dilindungi dengan aturan-aturan peradatan yang ketat. Perlindungan terhadap perempuan, bahkan disebutkan, menjadi salah satu ukuran harga diri laki-laki di Banuaha.

“Falsafah “Jatuh harga diri kita jika tidak bisa melindungi perempuan” menjadi prinsip hidup laki-laki di Banuaha. Perlindungan terhadap harkat dan martabat perempuan lebih ketat bagi perempuan yang masih gadis atau belum menikah. Jangankan menyentuh atau memperkosa, memandang perempuan saja dengan nafsu birahi, akan dikenai denda sesuai ketentuan sidang adat setempat,” beber Didipu.

Alhasil, demi menggugurkan semua aturan adat yang diciptakan untuk melindungi sang perempuan suku Nias, dibutuhkan biaya yang relatif tinggi saat hendak menikahinya.

“Kalau di sini justru laki-laki yang harus melindungi perempuan, bukan sebaliknya; jatuh harga diri kita jika tidak bisa melindungi perempuan.” (Sonjaya, ML, 2010:67)

Hukum-hukum adat yang ada memang ibarat “teropong” yang senantiasa memantau dan mengawasi setiap tingkah laku anggota masyarakatnya. Dengan begitu, masyarakat di suku Nias selalu merasa terlindungi dari hal-hal negatif serta merasa terus diawasi oleh aturan-aturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama.

[page='Pengantar']Kontrol Sosial[/page]

\"\"

Dampak positif penerapan hukum adat, termasuk yang mengatur hubungan perempuan dan laki-laki di Nias, bisa tampak dari minimnya kasus-kasus perselingkuhan, pemerkosaan, serta hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah, sebagaimana yang marak terjadi di kota-kota besar.

“Tapi,” Sayani mengingatkan, “Jika Abang menatap buah dada itu dengan tatapan birahi, Abang akan kena denda.” “Tentu, Sayani, aku tahu itu,” aku memotong. “Itulah hebatnya di sini, orang Banuaha mempunyai kontrol sosial yang kuat yang mengalahkan hukum positif di kota. Di sana banyak sekali perselingkuhan dan perkosaan, sedangkan di sini tidak ada. Bukankah begitu?” (Sonjaya, ML, 2010:92)

“Begitulah di sini, Bang, perilaku kita saling dicermati oleh sesama. Jika ada yang melanggar, maka orang lain, terutama dari marga yang berbeda, akan melaporkannya ke tetua adat. Begitulah keteraturan dibangun di Banuaha. Tidak tertulis, tapi kekuatannya sungguh luar bisaa.” (Sonjaya, ML, 2010:93)

Digambarkan pula bahwa sesuai hukum adat yang berlaku di Nias, konsekuensi tindak perselingkuhan, pemerkosaan, hingga hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah, tidaklah ringan. Bukan hanya denda, ancaman matipun diberikan.

Beratnya hukuman terhadap orang yang tidak menjunjung harkat dan martabat perempuan Nias dianggap sangat mujarab. Mayoritas pelaku menjadi jera melakukan aksi serupa.

“Iya, Bang Hendra ini aneh juga, masa belum nikah kok sudah begituan sama Kak Yasmin,” komentar Sayani polos. “Jika di sini ada yang seperti itu, keduanya sudah mati. Si perempuan akan dihanyutkan ke sungai dan si lelaki akan dipenggal kepalanya di tengah kampung.” (Sonjaya, ML, 2010:70)

Di tatanan peradatan Suku Nias, hubungan laki-laki dan perempuan harus dikukuhkan dalam upacara perkawinan. Seorang laki-laki yang menyukai seorang perempuan dianjurkan segera melamarnya. Itulah sebabnya bila ada hubungan spesial antara laki-laki dan perempuan tanpa setahu orang tua, dipastikan muncul persoalan serius. Bukan hanya potensi perselisihan, tapi juga bisa berupa perang antara dua keluarga.

Dalam Manusia Langit, hal itu mewujud dalam fragmen ketika Mahendra, yang menyukai Saita, bermaksud membantunya yang harus mengangkat beras dari pasar di kecamatan hingga ke Banuaha. Bertolak dari maksud baik, Mahendra justru dinilai melanggar adat Nias karena di sana ada larangan bagi laki-laki berjalan bersama perempuan yang belum dinikahinya.

Parahnya lagi, Mahendra dengan gegabah sempat mencium Saita ketika sedang menyeberangi sungai. Kontan amarah keluarga Saita meruap. Tabu bagi orang Nias melihat sepasang laki-laki dan perempuan yang belum diikat dengan pernikahan untuk berjalan bersama, apalagi sampai mencium. Apalagi Saita sudah dilamar oleh pemuda lain.

Mahendra pun kemudian disebutkan terkena hukum denda dari pihak keluarga Saita. “Aku dianggap sudah melanggar dua pasal. Pertama, aku mencium Saita. Kedua, aku telah berjalan berduaan dengan anak gadis tanpa ikatan apa pun. Aneh bukan? Setelah membantu mengangkat beras bukannya mendapat tanda terima kasih, malah disuruh membayar denda. Anak-anak babi yang baru saja aku beli untuk pesta pengukuhan namaku kelak terpaksa harus aku ikhlaskan untuk membayar denda itu. Tapi, bukan itu yang membuat aku sakit hati. Aku sungguh merasa terpukul ketika mengetahui Saita akan menjadi milik lelaki lain.” (Sonjaya, ML, 2010:160)

[page='Pengantar']Pernikahan Abadi[/page]

\"\"

Hal lain terkait relasi perempuan dan laki-laki Nias adalah tidak dikenalnya perceraian. Hubungan pernikahan haruslah abadi. Perpisahan hanya akan terjadi jika ada di antara keduanya yang meninggal dunia. Dan saat seorang suami ditinggal mati istrinya, dia wajib menikah kembali. Tujuannya agar ada yang mengurus rumah tangga.

Sebab, sebagaimana ditulis di atas, dalam adat Nias perempuan bertugas mengerjakan segala urusan rumah tangga. Sedangkan bagi lelaki dewasa, hal itu menjadi sesuatu yang tabu jika dijadikan sebagai tugas. Apalagi, jika sang lelaki menduduki posisi adat yang tinggi di kalangan masyarakat Nias.

Dalam Manusia Langit, hal itu tergambar lewat tokoh Ama Budi, seorang tokoh adat yang memiliki kedudukan tinggi dalam tatanan peradatan Nias. Setelah istrinya berpulang, urusan rumah tangga menjadi PR pelik yang harus segera memperoleh solusi.

Secara prinsip, Ama Budi merasa mampu mengerjakan semua itu. Tapi adat mengungkungnya. Sudah ada aturan yang tegas tentang pembagian pekerjaan laki-laki dan perempuan yang tidak bisa saling dipertukarkan. Kendati, boleh saling membantu.

Apalagi, Ama Budi digambarkan menjadi salah satu orang yang membuat dan menyepakati aturan tak tertulis itu karena ucapan-ucapan tokoh adat menjadi hukum setelah dibicarakan di dadaoma ono zalawa, tempat para tetua adat berupa kursi-kursi batu yang ditata melingkar dengan meja batu di tengahnya. Di situlah semua aturan adat diputuskan dan situ pula harga diri dipertaruhkan. Kini perkataanya, aturannya, telah menjerat dirinya sendiri. (Sonjaya, ML, 2010:123).

Akhirnya, Ama Budi  pun terpaksa merelakan hartanya dalam jumlah yang signifikan, untuk melamar seorang perempuan.

[page='Pengantar']Larangan Poliandri[/page]

Hukum adat Nias terkait hubungan lelaki-perempuan, dan juga tertuang di karya Sonjaya, adalah larangan poliandri. Boleh jadi, aturan itupun dianut kelompok masyarakat lain. Hanya saja untuk masyarakat Nias, penekanan diberikan pada keteguhan mereka dalam menjalankan aturan adat.

Perempuan yang sudah dilamar dan dinikahi seorang laki-laki, berarti perempuan tersebut sudah dibeli. Segala hak dan kewajiban perempuan seutuhnya menjadi milik laki-laki sebagai suaminya. Jika ada laki-laki lain yang mencoba mengganggu perempuan yang sudah menjadi istri orang lain, maka akan terjadi perang keluarga yang sampai menelan korban jiwa. “Benar, dulu aku sangat berharap bisa memiliki Saita, tapi sekarang Saita sudah resmi menjadi milik orang lain. Tak ada dalam hukumnya orang Banuaha bercerai. Tak ada pula ceritanya perempuan Banuaha memiliki dua suami.” (Sonjaya, ML, 2010:183).

Semua hukum adat di suku Nias yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan merupakan mekanisme kontrol yang mampu mengendalikan pola tingkah laku masyarakat setempat. Dengan aturan yang mengikat seperti ini, Didipu menjelaskan, setiap anggota masyarakat akan merasa selalu terawasi dan terlindungi. Tidak ada saling mengganggu, sambungnya, saling mencurigai.

“Yang ada hanyalah saling menjaga, saling menghormati satu dengan yang lain. Dengan begitu, tatanan kehidupan sosial di dalam kelompok masyarakat menjadi lebih baik, aman, nyaman, tenteram, dan sejahtera karena semuanya berpegang teguh pada aturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama,” pungkasnya.  

Boleh jadi, keteguhan dan ketaatan masyarakat Nias terhadap hukum adat yang berlaku merupakan konsekuensi dari keyakinan diri sebagai keturunan dari leluhur yang turun dari langit, dari negeri di atas awan, dan sedang menjalani hidup susah di bumi. Pasalnya, mereka percaya hanya lewat perbuatan baik dan dan ketaatan mengikuti aturanlah mereka bisa kembali ke langit sebagai orang suci. (nur)