Sungai Ketapi Sentra Kulat Bantilung

:


Oleh MC KAB BALANGAN, Kamis, 17 Januari 2019 | 09:37 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 2K


Paringin, InfoPublik - Pancaroba membawa berkah. Peralihan kemarau dan musim hujan, membuat pertumbuhan jamur atau kulat jenis bantilung pun tumbuh subur. Tak mengherankan, jika melintas di Desa Sungai Ketapi dan sekitarnya, ruas Jalan Achmad Yani di Kota Paringin, dijumpai penduduk setempat  yang menjajakan jamur bantilung.

Menjamurnya para pedagang dadakan ini di tepi jalan ini menjadi berkah bagi pencari kulat bantilung.  Jamur yang tumbuh alami ini ditaruh dalam piring dan mangkuk, yang ditaruh di atas meja.

Salah satu warga Sungai Ketapi, Aluh mengatakan jika tiap musim hujan seperti sekarang, maka jamur bantilung pun menjamur. Cendawan khas hutan Kalimantan ini tak beracun, dan enak untuk dikonsumsi.

“Biasanya, kulat Bantilung ini tiap tahun ada. Biasanya tumbuh musim hujan telah tiba,” ujar Aluh kepada wartawan di Paringin, Rabu (16/1/2019).

Wanita paruh baya ini tampak setia menanti para calon pembeli yang singgah di lapaknya. Menurut Aluh, kulat bantilung tumbuh bebas di hutan atau kebun karet, terutama di area yang banyak tumpukan daun dan bersuhu lembab.

“Wadah favoritnya kulat bantilung ini biasanya di balambika atau gundukan tanah yang terdapat sarang anai-anai,” kata Aluh.

Ia mengungapkan biasanya pada malam hari, tempat tumbuhnya kulat bantilung dikerubungi binatang sejenis huhurup atau laron. Ada mitos yang berkembang di tengah masyarakat desa, kulat bantilung tumbuh dari tubuh laron yang telah mati.

“Makanya, kalau malam hujan, banyak laron, besolnya warga ramai mencari kulat bantilung ke hutan atau kebun sekitar kampung,” ungkap Aluh.

Dia tak ingat persis kapan tradisi pencarian kulat bantilung. Namun, menurut Aluh, tradisi ini sudah ada sejak lama, hingga tahun 1990-an, warga Desa Ketapi dan sekitarnya pun menjalankan tradisi berjualan kulat bantilung di tepi jalan.

Tak ada harga pasti untuk ukuran per kilogram. Namun, Aluh mengatakan satu piring atau mangkok dijual seharga Rp 10 ribu. “Kalau lagi ramai, bisa lebih mahal atau malah sebaliknya murah,” ucapnya.

Penggemar kulat bantilung, Rustam (52 tahun) pun mengaku ketika musim hujan datang, pedagang musiman pun tiba. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk membeli tumbuhan yang tak memiliki klorofil itu sebagai lauk makan.

“Kalau lewat di Desa Sungai Ketapi ini, saya mampir kulat bantilung.  Sejak muda, saya menyukai kulat ini. Apalagi, rasa dagingnya seperti ayam. Pokoknya, kalau sudah merasa pasti ketagihan,” kata sopir dumtruck ini.

Warga Tabalong ini mengakui tak hanya di Desa Sungai Ketapi yang menjual kulat bantilung. Ada beberapa desa sekitar yang juga mendagangkan cendawan musiman ini.“Memang di Desa Sungai Ketapi yang paling banyak berjualan. Di daerah lain, jarang ditemukan yang jualan kulat bantilung,”jelasnya. (MC Balangan/Sugi/Eyv)