Legenda Jedo Pare Tonu Wujo, Maria Loretha, dan Sorgum

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Jumat, 24 Juni 2022 | 10:09 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 3K


Jakarta, InfoPublik - Niat Maria Loretha (56 tahun) sudah bulat. Saat Indonesia mengalami krisis pada 1998, Maria dan suaminya, Jeremias D. Letor, yang awalnya tinggal dan bekerja di Malang memutuskan pulang kampung ke tanah kelahirannya, Flores, NTT.

Pulang ke kampung halaman, pasangan ini tak punya kerjaan. Namun beruntung, sang suami punya lahan. Mama Tata --begitu Loretha akrab disapa-- lalu coba-coba bertani. Ia teringat semasa kecil di mana masyarakat NTT banyak yang mengonsumsi tanaman pangan selain beras seperti jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian.

Suatu ketika, saat berkunjung ke rumah tetangganya, Maria Helan, ia diberi sajian makanan berbahan sorgum. Terpincut dengan kelezatannya, Mama Tata lalu mencari tahu lebih jauh tentang sorgum.

Mama Tata blusukan mencari sorgum hingga ke berbagai daerah di NTT. Ternyata memang benihnya susah didapat dan langka. Hingga suatu ketika, seorang teman suaminya menyarankan dia ke Desa Noba di Ile Buru.

Tata tertegun begitu tiba di Desa Noba itu. Di situ ia menyaksikan sorgum merah sedang berbulir. Karena tergiur, Tata meminta bibit wata blolong -nama lokal sorgum- kepada seorang petani. Tapi sang petani tak memberinya.

Tata memutar otak. Ia pergi ke dapur menemui istri sang petani. Diberikannya uang Rp100 ribu kepada isteri petani itu. Dalam hatinya ia berharap pemberian itu bisa meluluhkan hati suaminya agar mau memberi sedikit bibit sorgum.

“Tiga hari kemudian kami ditelepon untuk datang ambil benih. Dari situ saya berjanji akan mengembangkan sorgum dan membagikannya gratis kepada para petani yang mau dan menanam wata blolong,” kata Tata.

Tata langsung menanam bibit itu di lahan miliknya. Dan sukses. Ia pun menepati janjinya, menularkan budidaya sorgum itu ke para warga. Terlebih, setelah ia berkeliling ke berbagai daerah di NTT, ia menemukan banyak varietas sorgum lokal dan mengumpulkan bibitnya. Tanaman ini juga punya banyak sebutan lokal di berbagai daerah di NTT dan sekitarnya.

Rupanya tanaman ini pernah menjadi tanaman favorit dan makanan pokok orang NTT. Artinya, sorgum sudah dikenal lama di NTT, merupakan warisan budaya pertanian lokal, dan tentu cocok dengan kondisi alam setempat.

Tata mengungkapkan, keunikan kondisi lokal yang kering, berbatu harus dibaca untuk menciptakan kedaulatan pangan. Selalu ada jenis-jenis tanaman yang cocok dibudidayakan di NTT yang kondisi lahannya kering berbatu-batu.

“Bagaimana menjadikan batu bertanah itu sebagai peluang ekonomi berkelanjutan, memahami konteks lokal bahwa yang bisa tumbuh di sini ya benih-benih lokal. Jangan dibawa benih dari Jawa, suruh ditanam. Akibatnya nanti muncul isu kurang pangan, gizi buruk,” kata Tata.

Berhasil membudidayakan sorgum, Mama Tata mulai menularkan budidaya sorgum ini ke para warga. Terlebih, setelah ia berkeliling ke berbagai daerah di NTT, ia menemukan banyak varietas sorgum lokal dan mengumpulkan bibitnya. Tanaman ini juga punya banyak sebutan lokal di berbagai daerah di NTT dan sekitarnya.

Untuk memasyarakatkan budidaya sorgum dan mendampingi para petani, Tata mendirikan Yayasan Cinta Alam Pertanian pada 2007. Yayasan ini kemudian berhasil mendorong lahirnya puluhan kelompok tani pembudidaya sorgum di berbagai kabupaten di NTT.

Salah satu area yang dikembangkan Maria Loretha dan para petani menjadi kebun sorgum adalah Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur. Luas kebunnnya mencapai 40 hektare, terletak di lahan berbukit-bukit yang menghadap langsung ke laut.

Bukit-bukit itu kini tampak menghijau tertutup hamparan sorgum, sementara di sisi lain terhampar pula birunya laut lepas. Karena pemandangannya indah, Maria Loretha berniat menjadikan area ini sebagai destinasi agrowisata yang akan berdampak positif pula bagi ekonomi warga lokal.

Karena sukses membudidayakan sorgum, masyarakat menjulukinya "Mama Sorgum". Upayanya yang tak kenal lelah ini pun membuahkan hasil. Ia diganjar sejumlah penghargaan lokal, nasional, dan internasional.

Upaya Mama Sorgum menghidupkan pangan lokal itu, bisa menjadi inspirasi buat khalayak luas. Sehingga kekhawatirkan krisis pangan seperti yang disampaikan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu tak akan terjadi jika pangan-pangan lokal memang dihidupkan.

Legenda Jedo Pare Tonu Wujo
Sebuah kisah rakyat dengan beragam versi beragam di tanah Flores, utamanya suku Lamaholot.

Syahdan, paceklik melanda daerah Flores, Nusa Tenggara Timur. Paceklik itu menyebabkan bencana kelaparan hebat di wilayah itu. Keluarga Jedo Pare Tonu Wujo, termasuk salah satu yang mengalami kelaparan itu. Keluarga ini terdiri dari delapan bersaudara -tujuh laki-laki dan satu perempuan. Jedo Pare merupakan anak bungsu dan satu-satunya perempuan.

Saat paceklik terjadi, Jedo mengajak saudara-saudaranya pergi ke hutan. Tujuannya satu: untuk mbabat alas yang akan dibuat. Hutan pun dibabat, lalu mereka memagarinya. Keesokan harinya, mereka berencana menanami sesuatu di kebun itu. Namun hari itu hujan lebat datang.

Keluarga itu kebingungan. Mereka pulang dan menangis tiada henti. Rencana menanam buyar. Di tengah keputusasaan itu, Jedo meyakinkan kakak-kakaknya agar tetap pergi bersama-sama ke kebun yang bakal mereka kerjakan. “Tak perlu khawatir,” kata Jedo. “Lahan akan menyediakan bahan makanan yang melimpah buat kalian semua.”

Saudara-saudaranya terperangah. Mereka akhirnya mengikuti nasihat adik bungsunya itu. Tiba di kebun, Jedo meminta mereka memancangkan sebatang kayu di tengah lahan. Ia juga minta agar saudara-saudaranya mencari batu ceper besar untuk diletakkan berdampingan di batang kayu yang telah ditancapkan itu.

Jedo duduk bersila di atas batu ceper itu. Kepada saudara laki-lakinya termuda ia meminta melaksanakan pesan yang akan disampaikannya. Karena pesan itu sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa (Leran Wulan, Tana Ekan).

“Inilah pesanku. Penggallah kepalaku. Jika aku sudah tidak bernyawa, biarkan darahku membasahi batu tempatku duduk sekarang. Biarkan ia mengalir ke seluruh pojok kebun ini. Setelah ini kamu semua boleh pulang ke rumah, dan enam hari lagi kamu boleh kembali lagi ke sini!”

Saudaranya terperangah. Namun ia tetap menuruti pesan saudaranya itu. Kepala adiknya dipenggal. Darah mengucur deras membasahi batu dan mengalir ke seluruh pojok kebun.

Dengan kesedihan mendalam, ketujuh lelaki bersaudara itu kembali ke rumah. Enam hari kemudian mereka datang kembali ke kebun itu. Betapa terkejutnya mereka. Ternyata pesan Jedo benar. Di kebun sudah tumbuh berbagai tanaman pangan seperti padi (taha), labu (besi), jewawut (weteng), jagung (wata), sorgum, dan ragam pangan lain yang mereka namai dengan nama-nama lokal.

Ketika musim panen tiba, seluruh hasil panen itu mula-mula dikumpulkan di atas batu ceper sebagai suatu peringatan sekaligus penghormatan kepada Jedo yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya demi kemakmuran saudara-saudarnya.

Cerita rakyat itu terus dipegang masyarakat setempat. Dalam cerita itu terkandung makna, ladang merupakan tempat aneka ragam tanaman tumbuh seperti dalam kisah Jedo itu. Pemikiran untuk menyeragamkan pangan harus ditata ulang. Seperti kata pepatah bijak: makanlah apa yang ditanam dan tanamlah apa yang bisa dimakan.

Legenda Jedo itu sampai saat ini masih dipegang teguh suku Lamaholot. Di setiap lahan selalu ada tiang pancang dan batu ceper yang mereka sebut Jedo Pare Tonu Wujo. Setiap akan menanam atau panen, mereka selalu meletakkannya di batu itu sebelum akhirnya di bawa ke lumbung.

(Hamparan tanaman sorgum di NTT. Foto: tangkapan layar instagram @marialoretha)