Cerita Dalam Sebungkus Nasi Padang

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Senin, 20 Juni 2022 | 12:32 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 2K


Jakarta, InfoPublik - Jagat media sosial beberapa waktu lalu dihebohkan adanya usaha kuliner khas Minangkabau. Restoran di Jakarta itu menawarkan  rendang berbahan daging babi. Kehebohan itu membuat pemilik restoran padang Babiambo, Sergio, berususan dengan kepolisian.

Sergio mengaku pendirian restoran itu karena memanfaatkan peluang dengan memadukan kuliner khas Padang dengan daging babi. Pemilihan inovasi itu dilakukan karena kecintaannya terhadap kedua masakan tersebut.

Sikap reaktif orang Padang atas kemunculan makanan Padang non-halal itu, dinilai budayawan Minang Universitas Andalas, Profesor Gusti Asnan, sebagai hal yang wajar. Sebab, mereka menganggap makanan non halal itu menghina budaya dan falsafah hidup orang Minang yang sangat lekat dengan ajaran agama Islam.

Sejarah Masakan Padang
Asal-usul rumah makan Padang atau lapau dapat ditelusuri hingga perempat kedua abad ke-19.

Menurut Gusti Asnan, sejarawan Minangkabau di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, saat itu, Padang jadi ibu kota daerah administratif Gouvernement van Sumatra's Westkust sekaligus menjadi pusat aktivitas ekonomi. Semua hasil bumi Sumatera Barat yang layak untuk dijual ke pasar mancanegara harus dibawa ke Padang.

Untuk menunjang pengiriman barang-barang tersebut, pemerintah Belanda membangun berbagai ruas jalan di seantero Sumatera Barat.

Sarana transportasi yang populer saat itu adalah kuda beban dan pedati, dan karena kuda perlu istirahat, ruas jalan dibagi menjadi beberapa etape (tahap, perhentian). Dalam jalan dari Padang hingga Bukittinggi, misalnya, terdapat enam etape.

Pada setiap etape, kata Gusti, tersedia pesanggrahan atau tempat istirahat untuk pejabat kolonial dan penginapan bagi penuntun kuda beban dan sais pedati. Penginapan tersebut sekaligus berfungsi sebagai warung atau kedai nasi. Inilah cikal bakal rumah makan Minangkabau di pinggir jalan.

Menurut Gusti, rumah makan Minangkabau telah ditemukan di luar Sumatera Barat pada awal abad 20. Namun ketersebarannya baru mulai ada pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, ketika ada eksodus masyarakat Minang pasca-PRRI.

Penyebutan "Padang" merupakan bagian dari perubahan identitas yang dilakukan oleh orang Minangkabau saat itu, menyusul pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat.

Setelah pemberontakan PRRI resmi berakhir pada 1961, pemerintah pusat berusaha menghabisi semua elemen PRRI. Eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain terjadi, termasuk ke Jawa.

Tindakan keras dan cenderung menindas dari pemerintah pusat waktu itu mendorong orang Minangkabau di perantauan berusaha mengganti identitas mereka dengan berbagai cara. Dua di antaranya mengganti nama etnik dari Minangkabau menjadi Padang dan mengganti nama diri dari khas Minangkabau menjadi kejawa-jawaan.

Sebelum popular disebut masakan Padang, tempat makan itu tempat yang lazim bagi tempat makan yang menjual masakan khas Minangkabau adalah "lapau nasi", "kedai nasi", "los lambuang", atau "karan".(*)

(Ilustrasi salah satu menu di restoran nasi Padang. Foto: tangkapan layar Intstagram @nasipadangkita)