Reog dan Klaim Malaysia

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Kamis, 14 April 2022 | 04:43 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 737


Jakarta, InfoPublik - Media sosial baru-baru ini diramaikan perbincangan tentang Reog Ponorogo. Perkara berawal dari Pernyataan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy yang menyebut Malaysia saat ini tengah berencana mengajukan kesenian reog Ponorogo sebagai warisan kesenian tak benda ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Padahal, pada 18 Februari 2022, Indonesia sudah mengajukan kesenian yang berasal dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur ini ke UNESCO.

"Kita harus lebih dulu. Karena ini kan sudah menjadi budaya dan warisan kita,” ujar Muhadjir, dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu (6/4/2022).

Kabar itu langsung riuh. Publik terhentak dengan kabar itu. Ini memang bukan pertama kali Malaysia main klaim.

Sehari setelah perbicangan keriuhan itu, Kedutaan Malaysia di Jakarta buru-buru mengklarifikasinya. Katanya, mereka tak ada niat sama sekali mendaftarkan Reog Ponorogo itu sebagai warisan kesenian negaranya.

"Saya sudah berdiskusi dengan pusat mengenai ini. Berdasarkan informasi awal, Malaysia tidak berniat mengajukan reog Ponorogo ke UNESCO sebagai milik kami," ujar Wakil Duta Besar Malaysia di Jakarta Adlan Mohd Shaffieq dalam keterangannya, Selasa (12/4/2022).

Adlan mengakui, saat ini Malaysia dan Indonesia sedang bersama-sama mengajukan sejumlah warisan budaya tak benda ke UNESCO. Warisan budaya adalah kebaya, tari piring, tari kuda kepang, tradisi adat perpatih, dan puisi teromba. Tak ada Reog Ponorogo dalam daftar yang diajukan bersama itu.

"Saat ini Kementerian Luar Negeri RI telah mengirim diplomatic note tertanggal 2 Maret 2021 terkait kesepakatan Indonesia untuk mendaftarkan kelima warisan budaya di atas sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO," kata Adlan.

Pertanyaannya, dari mana sebenarnya reog berasal? Ptatform Indonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek menulis reog Ponorogo merupakan kesenian tradisional yang berasal dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Menurut cerita rakyat kesenian reog Ponorogo sudah ada sejak zaman kerajaan Kediri sekitar abad XI.

Diceritakan di wilayah Ponorogo yang bernama Wengker berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Bantarangin. Kerajaan Bantarangin diperintah seorang raja yang adil bijaksana dan masih muda. Namanya Prabu Klana Sewandono. Raja Bantarangin mempunyai seorang patih yang pandai dan sakti bernama Pujangga Anom (dalam pertunjukan reog disebut Bujangganong).

Suatu hari Prabu Klana Sewandono bermimpi berjumpa seorang putri cantik bernama Putri Songgolangit dari Kerajaan Kediri. Prabu Klana Sewandono jatuh cinta. Ia langsung mengutus Patih Pujangga Anom untuk melamar Putri Songgolangit.

Putri Kerajaan Kediri itu bersedia menerima lamaran Prabu Klana Sewandono dengan syarat. Syaratnya, Sang Prabu mampu mempersembahkan pertunjukan yang belum pernah ada.

Sang Patih Pujangga Anom mencari ide agar Prabu Klana bisa mendapatkan sang putri. Ia pun menemukan ide pertunjukan dengan memanfaatkan Raja Singo Barong yang dikalahkan oleh Prabu Klana Sewandono.

Menurut cerita, Raja Singo Barong konon berkepala harimau dan di atasnya bertengger burung merak. Dengan ditambah bunyi-bunyian maka jadilah iring-iringan Prabu Klana Sewandono dan Prabu Singo Barong itu menjadi pertunjukan seperti yang dikehendaki oleh Putri Songgolangit. Iring-iringan itulah yang kemudian disebut kesenian reog seperti yang sering kita saksikan sekarang ini.

Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis kesenian khas Ponorogo, reog Ponorogo, terlintas kesan mistis di dalamnya. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan. Kesenian ini juga tak lepas dari kekuatan supra natural. Barongan mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak seberat sekitar 40 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung.

Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, eksotis sekaligus membangkitkan gairah.

Satu group reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang. Dalam kesenian reog, peran sentral ada di tangan warok dan pembarongnya.

Dalam cerita reog, warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara yang baik dan jahat. Dalam pertunjukan, warok berada di barisan depan laksana pemimpin. Warok biasanya seorang laki-laki berbadan gempal berseragam hitam dengan bagian dada terbuka. Wajahnya sangar, dengan kumis dan jambang yang lebat.

Warok Tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.

Warok tua sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah bertenaga. Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya.

Ada dua ragam bentuk reog Ponorogo yang dikenal saat ini, yakni Reog Obyog dan Reog Festival. Reog obyog, yang hidup di pedesaan, sering pentas di pelataran atau jalan tanpa mengikuti pakem tertentu. Biasanya mengisi acara hajatan, bersih desa, hingga pementasan semata untuk menghibur. Sedangkan Reog Festival sudah mengalami modifikasi dan ditampilkan sesuai pakem dalam acara tahunan Festival Reog yang diadakan Pemerintah Kota Ponorogo sejak 1997.

Dalam Performance, Music and Meaning of Réyog Ponorogo di jurnal Indonesia No. 22, Oktober 1976, Margaret J. Kartomi menyebut, kata “reog” mungkin berasal dari kata “angreyok” yang ditulis pujangga Prapanca dalam Nagarakertagama. “Angreyok” berkaitan dengan dorongan semangat prajurit, pertunjukan tari reog, perang-perangan, dan mungkin berhubungan dengan pengetahuan militer kuno.

“Rujukan paling awal yang diketahui tentang bentuk-bentuk seni yang menyerupai itu terkandung dalam Serat Cabolang, sebuah tembang yang mungkin ditulis di Surakarta pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19,” ujar Kartomi.

Serat Cabolang mengisahkan pengembaraan Cabolang, putra seorang kiai di Ponorogo. Dia menyaksikan dan ambil bagian dalam sebuah pertunjukan yang mengisi acara sunatan. Pertunjukan itu dimeriahkan 20 penari jaran kepang, lima gendruwon (sebutan lain Pujangganong) –semuanya warok– dengan tiga anak laki-laki kemayu (jathil) di tengah. Pertunjukan diiringi orkes srunen yang terdiri dari slomprit, angklung, kendang, kenong, dan kempul.

Reog memang telah melegenda di Indonesia. Aneh bin ajaib jika Malaysia tiba-tiba main klaim kesenian itu miliknya.(*)

(Peserta memainkan kesenian Reog saat deklarasi Kampung Pancasila Gandekan di Solo, Jawa Tengah, Senin (21/3/2022). Kegiatan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan sikap menghormati antarwarga guna mewujudkan semangat pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. ANTARAFOTO/Maulana Surya/nym.)