e-Commerce Merambah Desa

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Kamis, 30 September 2021 | 09:33 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 853


Jakarta, InfoPublik - Kabar baik datang dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Tranmsigrasi. Saat ini ada sudah 1.852 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merambah ke e-commerce. Tak hanya melalui e-Commerce, ribuan BUMDes lainnya juga aktif memasarkan produk melalui media sosial.

“BUMDes-BUMDes ini terus berpacu dengan kondisi kebutuhan supaya produknya bisa dipasarkan,” ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Tranmsigrasi, Abdul Halim Iskandar saat menjadi pembicara pada Jateng Digital Conference 2021 secara daring, Rabu (29/9/2021).

Peningkatan jumlah BUMDes yang masuk ke dunia e-commerce menjadi tanda kemajuan digital di desa-desa. Kata Halim, semakin banyaknya partisipasi generasi muda menyebabkan proses pembangunan di desa semakin melek digital.

“Selama ini seakan-akan ada kontradiksi antara digital dan desa. Padahal sekarang sudah berjalan seiring,” ujar dia.

Saat ini juga banyak desa yang membangun sebuah BUMDes Bersama. “Misalnya di (Desa) Panggungharjo, sepuluh desa bikin kerja sama pasardesa.id. sekarang sudah miliaran omzetnya,” kata dia.

Menurut Halim, dari total 74.961 desa di Indonesia, ada 3.700 desa yang masih belum mendapatkan jaringan internet. Agar desa-desa itu bisa mengejar ketertinggalan, saat ini pemerintah terus menggenjot pembangunan internet di desa-desa itu.

Riset perusahaan modal ventura Alpha JWC Ventures bersama perusahaan konsultan manajemen global Kearney bertajuk 'Unlocking Next Wave of Digital Growth: Beyond Metropolitan Indonesia', mengungkap ketika pandemi melanda, situs belanja daring atau e-commerce memang diyakini akan menjadi tulang punggung ekonomi digital di kota-kota kecil dan pedesaan.

Laporan ini berupaya memahami perbedaan kondisi adopsi digital dari warga 15 kota metropolitan (Tier 1), dengan 76 kota Rising Urbanites (Tier 2) seperti Semarang, Makassar, dan Denpasar, 101 kota/kabupaten sebagai Slow Adopters (Tier 3), dan 322 kota/kabupaten lain sebagai Rigid Watchers (Tier 4).

Shirley Santoso, Partner and President Director Kearney mengungkap, ada dua alasan kenapa e-commerce harus menjadi garda terdepan memajukan ekonomi di kota Tier 2 dan Tier 3 yang tidak termasuk non-metropolitan.

Pertama, karena e-commerce merupakan platform digital yang paling mudah diterima dan dicoba oleh masyarakat awam (laggards) atau mereka yang telanjur 'ketinggalan zaman' terkait era teknologi.

Hasil riset yang mereka lakukan menyebut 66 persen aktivitas digital dari platform e-commerce tercatat paling mudah diterima laggards di Tier 2 dan 3. Sedangkan ride hailing dan food delivery belum sampai menyentuh 50 persen.

Secara terperinci, awareness dari platform ride hailing hanya 47 persen masyarakat awam dari Tier 2 dan 3, food delivery 41 persen, Ed-tech 30 persen, fintech payment 24 persen, fintech lending 11 persen, health-tech 5 persen.

Kedua, dengan penetrasi e-commerce yang mudah diterima warga awam dari kota kecil dan pedesaan, maka layanan digital lain yang berhubungan dengan 'belanja online' pun ikut terpengaruh, dan berpotensi untuk turut dijajal oleh para awam tersebut. Ia mencontohkan, platform pembayaran digital atau payment, layanan pinjaman digital atau digital lending, serta platform penyedia layanan digital UMKM, seperti pembukuan arus kas, pergudangan, atau financial planning.

"Ini karena e-commerce punya supporting sectors, yang saling mendukung," kata Shirley Santoso awal April lalu.

Terakhir, transaksi digital payment bisa tumbuh subur di daerah tersebut karena masyarakatnya sudah terbiasa.

Karenanya, Shirley menjelaskan setidaknya investasi sektor TI dari banyak stakeholder kepada kota Tier 2 dan 3 perlu terus digenjot untuk mengatasi ketimpangan adopsi digital, terutama untuk memudahkan e-commerce masuk ke sana.

Bagaimana agar e-commerce itu bisa terus berkembang? Ada enam kuncinya: infrastruktur fisik, digital dan regulasi, ditambah edukasi konsumen, pengembangan SDM, dan mempermudah akses permodalan buat para pelaku usaha.

Enam elemen itu tercermin dalam temuan perbedaan prioritas konsumen di Pulau Jawa dan di luar Jawa. Masyarakat awam dan early adopters di Jawa sudah lebih mementingkan kemudahan penggunaan, harga, promosi, dan ketersediaan barang. Namun, konsumen di luar Jawa masih memperhatikan keamanan, keamanan, bahkan akses pengiriman masih menjadi kendala utama.

"Non-Jawa masih butuh 'basics-right' dan masih berkutat pada masalah berbasis infra. Sedangkan masyarakat di Jawa, lebih sensitif terhadap harga, ujar dia.

(Pedagang cermin memotret salah satu produk yang akan dipasarkannya di aplikasi jual beli di kawasan Pejompongan, Jakarta, Minggu (8/8/2021). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan?menargetkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang memasarkan produknya di perdagangan digital (e-commerce) pada tahun 2023 sebanyak 30 juta pelaku usaha. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.)