TMII, Miniatur Indonesia Kini Dikelola Negara

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Jumat, 9 April 2021 | 09:03 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 785


Jakarta, InfoPublik - Siti Hartinah takjub. Saat mengunjungi Disneyland, Amerika Serikat dan Thai-in-Miniature di Thailand pada era 1970an, Siti Hartinah --istri Presiden Soeharto--atau yang akrab disapa Tien Soeharto punya angan-angan membangun hal serupa di Indonesia. Namun bangunan itu nantinya lebih menonjolkan spirit ke-Indonesiaan. Dalam angan-angannya itu, ia membayangkan taman itu menjadi miniaturnya Indonesia.
 
Keinginan itu lalu ia sampaikan dalam pertemuan dengan pengurus Yayasan Harapan Kita (YHK) di rumahnya, Jalan Cendana No. 8, Jakarta, pada 13 Maret 1970. Di hadapan pengurus itu, ia menginginkan Indonesia membangun sebuah tempat untuk menampilkan keanekaragaman Indonesia.
 
Kata Tien, saat itu Indonesia kerap dipandang sepele oleh bangsa lain. Bangsa lain menganggap Indonesia hanyalah Bali.
 
“Masih sering didengar anggapan sementara orang asing bahwa Indonesia hanyalah terdiri dari Bali saja,” kata Tien. 
 
Karena itu, dia ingin mengubah pandangan tersebut. Caranya dengan membangun tempat seperti Thai-in-Miniature dan Disneyland.
 
Dalam bayangan Tien, tempat yang akan dibangun itu nantinya akan mempunyai sebuah kolam besar berbentuk kepulauan Indonesia. Tetanaman hias dari antero Indonesia berada di sekitar kolam. Kemudian ada pula bangunan-bangunan khas dari tiap daerah di Indonesia. 
 
Taman itu juga dilengkapi perabot, pakaian, dan senjata adatnya. “Di dalam rapat ditentukan bahwa proyek tersebut bernama Miniatur Indonesia Indah,” tulis Tim Penyusun Apa dan Siapa Indonesia Indah.
 
Para pengurus YHK yang terdiri dari istri kawan-kawan Presiden Soeharto itu kagum dengan gagasan Tien. Mereka lalu sepakat dan mendukung gagasan Tien itu. 
 
Usai rapat, mereka menghubungi Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966—1977. Ali tertarik dengan rencana pembangunan miniatur Indonesia itu.
 
Gagasan Tien itu, menurut Ali, punya maksud dan tujuan yang sama dengan proyek Bhinneka Tunggal Ika yang pernah digagas DPRD DKI Jakarta pada 1968.
 
Ali lalu membantu mencarikan lahan. Semula Ali menemukan lahan di dekat Hotel Indonesia. Luasnya kurang dari 20 hektar. Lahan itu dianggap terlalu kecil. Ali lalu mencari lahan yang lebih luas. Kali ini ia menemukan di kawasan Cempaka Putih. Lahannya lebih besar dari yang dekat di Hotel Indonesia. 
 
Lahan di Cempaka Putih lebih luas daripada di dekat HI. Tapi rupaya Tien kurang puas. Lahan yang ia bayangkan kurang luas. 
 
Ali Sadikin lalu memutar otak. Ia menawarkan daerah Pondok Gede. Di Pondok Gede, Pemda DKI bisa menyediakan lahan lebih kurang 100 hektar. Tawaran ini lalu diterima pengurus YHK dan Ali menjadi project officer dalam pembangunan itu.
 
Dalam hitungan panitia, pembangunan menelan biaya kurang lebih Rp10,5 miliar. Angka yang tergolong sangat fantastis pada tahun itu.
 
Karena taman itu mencerminkan Indonesia, Tien memerlukan bantuan dari pemerintah daerah se-Indonesia untuk bantingan. Pada saat para gubernur se-Indonesia berkumpul di Istana Negara, 30 Januari 1971, Tien membagikan proposal rencana pembangunan miniatur Indonesia ke para gubernur itu. Dihadapan para gubernur itu, Tien "berjualan". Ia memaparkan manfaat pembangunan miniatur Indonesia itu.
 
Dalam master plan disebutkan, YHK menanggung biaya pembangunan sebesar 25 persen. Sisanya dibebankan kepada daerah tingkat I (provinsi) sebesar 16 persen, investor sebesar 45 persen, dan badan lain sebesar 14 persen.
 
Rencana pembangunan ini baru diketahui khalayak pada akhir November 1971, saat Tien yang bertindak sebagai ketua Badan Pelaksana Pembangunan dan Persiapan Pengusaahaan Proyek (BP5) Miniatur Indonesia Indah memaparkan secara lengkap rencana pembangunan itu. 
 
Informasi itu kemudian tersebar. Publik geger. 
Para mahasiswa berkali-kali melancarkan demo menolak rencana itu. Rencana pembangunan itu dianggap tak sejalan dengan anjuran yang diungkapkan Soeharto yang meminta masyarakat hidup prihatin lantaran sebagian besar masyarakat masih hidup dalam taraf kemiskinan. Dalam beberapa kesempatan, Soeharto juga menekankan agar pembangunan didasarkan pada skala prioritas.
 
Tien terkejut dengan reaksi mahasiswa itu. Ia tak pernah mengira gagasannya akan ditentang. Namun anjing menggonggong kafilah berlalu. Pembangunan miniatur Indonesia jalan terus.
 
Karena derasnya aksi demo, Tien menggelar jumpa pers pada 8 Januari 1972. Dalam jumpa pers, Tien mengatakan pembangunan TMII telah mengikuti prosedur yang semestinya. 
 
"Akan tetapi kalau pemerintah memberikan sumbangan apa salahnya," kata Tien.
 
Ia menilai wajar bila Yayasan Harapan Kita yang diketuai olehnya mendapat seumbangan dari pemerintah untuk pembangunan TMII. Mereka pun mengebut pembangunan itu. Mimpi Tien Soeharto membangun miniatur Indonesia pun akhirnya terwujud. Pada 20 April 1975, TMII akhirnya diresmikan.
 
Di miniatur Indonesia itu hampir setiap daerah punya kapling. Di situ ditampilkan bangunan yang berbeda satu sama lain. Bangunan ini ditampilkan dalam anjungan daerah. Masing-masing bangunan menampilkan kekhawasan daerahnya. Bangunan atau arsitektur tradisional yang mereka buat selalu dilatarbetakangi oleh kondisi lingkungan dan kebudayaan yang dimiliki. 
 
Ada 33 anjungan provinsi yang dibangun di sekitar danau. Taman ini merupakan rangkuman kebudayaan bangsa Indonesia, yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat 33 provinsi Indonesia.
 
Selain anjungan dan danau, di TMII kita bisa melihat kereta gantung, berbagai museum, dan Teater IMAX Keong Mas dan Teater Tanah Airku, dan berbagai sarana rekreasi.
 
TMII punya maskot tokoh wayang Hanoman yang dinamakan NITRA (Anjani Putra). Maskot Taman Mini "Indonesia Indah" ini diresmikan penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto, bertepatan dengan dwi windu usia TMII, pada tahun 1991.
 
Kini, setelah 44 tahun dikelola Yayasan Harapan Kita, mercusuar Orde Baru yang berdiri di atas tanah kurang lebih 150 hektar atau 1,5 kilometer persegi itu diambilalih negara. Pengambilalihan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021.
 
"Pengelolaannya saja yang bergeser. Kalau dulu pengelolaannya oleh Yayasan Harapan Kita selama hampir 44 tahun, sementara sekarang ini dikelola langsung oleh Setneg," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam konferensi pers daring, Rabu (7/4/2021).
 
Dasar pengambilalihan adalah hasil audit dari tim legal Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
 
Hasil audit BPK menyatakan, perlu dilakukan pengelolaan yang lebih baik terhadap TMII. "Ada temuan dari BPK dari bulan Januari 2021, ini untuk laporan hasil pemeriksaan 2020. Rekomendasinya adalah harus ada pengelolaan yang lebih baik dari Kemensetneg terhadap aset yang dimiliki oleh negara tersebut," ujar Sekretaris Kemensetneg, Setya Utama.

(Pengunjung berjalan di depan taman legenda di TMII, Jakarta, Rabu (7/4/2021). Pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dari Yayasan Harapan Kita. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.)