KLHK Tawarkan Teknik Soil Bioengineering untuk Cegah Longsor

:


Oleh Wisnubro, Rabu, 22 Januari 2020 | 09:45 WIB - Redaktur: Admin - 230


JPP JAKARTA - Menyongsong 107 Tahun berdirinya, Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI KLHK) melalui Pusat Litbang Hutan (Puslitbanghutan), tengah mengembangkan salah satu teknik untuk mengurangi kerawanan longsor melalui Soil Bioengineering. Teknik ini mengutamakan peran dari vegetasi, baik pohon, rumput, atau semak dalam penanganan pengurangan kerawanan longsor.

"Pada prinsipnya, bagaimana supaya jumlah air hujan itu sebanyak mungkin diinfiltrasikan atau diserapkan ke dalam tanah, yaitu dengan memperbanyak vegetasi. Karena sebagian besar air sudah terserap, maka air limpasan tidak terlalu banyak. Kecepatannya pun dapat diperlambat dengan bangunan sipil teknis kehutanan. Jadi prinsip selanjutnya untuk memperlambat run off atau air limpasan, sehingga daya ‘rusak’ air terhadap tanah berkurang," jelas Peneliti Puslitbanghutan Prof. Chairil Anwar Siregar (CAS), saat Media Briefing di Jakarta, Selasa (21/01/2020).

Berkaca pada kejadian longsor di Bogor dan Lebak, Prof. CAS juga menjelaskan tingkat kelerengan tanah berpengaruh besar terhadap longsor. Oleh karena itu, keberadaan vegetasi diperlukan untuk memperlambat run off, memperkecil daya abrasi, sekaligus menjaga kestabilan lereng.

"Longsor terkait dengan kemiringan lereng (slope), dan ini hal yang paling kritis, karena pada malam hari temperature turun, molekul air membesar, partikel tanah terangkat, dan saat siang hari temperatur tanah kembali normal, dan terjadi perpindahan partikel tanah (soil creep). Jika hal ini terjadi di tanah datar, maka akan kembali ke tempat semula, tapi jika di tanah miring, dengan dukungan gravitasi, maka tanah akan meluncur. Sepanjang permukaan tanah bervegetasi bagus, perakarannya bagus, infiltrasi akan aliran bagus, namun jika di daerah miring, air limpasan (run off) yang terjadi akan cepat sekali," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Dr. Budi Hadi Narendra, yang juga Peneliti BLI KLHK, menyampaikan kestabilan lereng ini dipengaruhi kondisi morfologi, khususnya kemiringan lereng, kondisi batuan atau tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. "Sedangkan pemicu longsor itu sendiri berasal dari peningkatan kandungan air dalam lereng karena hujan, getaran saat gempa bumi, serta peningkatan beban seperti bangunan, atau pohon yang terlalu rimbun sehingga melampaui kuat geser tanah, pemotongan kaki lereng yang mengakibatkan menurunnya gaya penyangga, dan susutnya muka air yang cepat di danau/waduk, yang dapat menurunkan gaya penahan lereng," jelas Budi Hadi Narendra mengutip hasil penelitian Susilawati dan Veronika pada tahun 2016 lalu.

Mendukung upaya preventif, Budi juga mengemukakan teknik soil bioengineering untuk menstabilkan kelerengan. "Sebagaimana hasil kajian Nugraha (2016), pada prinsipnya metode ini berusaha menutupi permukaan lereng yang terbuka dengan tanaman, agar akar tanaman dapat meningkatkan kohesi tanah, sebagai suatu sistem konstruksi alami penstabil lereng. Selain itu, akar dapat menyerap air dalam tanah melalui proses transpirasi sehingga dapat menurunkan tegangan air pori," katanya.

Tanaman Vetiver

Sebagaimana halnya jenis tanaman vetiver yang sedang ramai dibicarakan saat ini, Budi menyampaikan, peranan akar pohon sebagai pengcekeraman juga dapat memberikan kestabilan tanah pada lereng, meski tetap bergantung pada faktor lain seperti sistem morfologi, penguatan, distribusi akar, dan interaksi antara akar-tanah. "Demikian pula halnya karakteristik sistem perakaran tanaman seperti kerapatan akar, jumlah akar, kedalaman akar, pola percabangan akar, sudut kemiringan akar, dan diameter akar juga akan mempengaruhi proses longsoran. Untuk meningkatkan stabilitas lereng, panjang akar mesti mencukupi supaya akar-tanah dapat berinteraksi dan mengcengkeram tanah," tambahnya.

Selain rumput vetiver, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya bersama Dr. Ogi Setiawan di tahun 2012, perakaran tanaman bidara laut (Strychnos lucida R.Br.), juga diketahui sesuai untuk upaya pengendalian longsor. "Bidara laut termasuk yang cocok untuk ditanam di daerah rawan longsor karena selain perakarannya sesuai, jenis pohon ini ukurannya juga tidak besar sehingga tidak terlalu membebani lereng. Akan lebih bagus dikombinasikan dengan vetiver, karena akan membentuk kanopi berstrata/bertingkat, yaitu tajuk vetiver di lapisan bawah dan bidara di lapisan atas. Tajuk yang berstrata juga akan lebih berperan efektif dalam pengurangan erosi," jelas Budi Hadi Narendra.

Sementara itu, Kepala Bidang Kerjasama dan Diseminasi Puslitbanghutan, Ahmad Gadang Pamungkas, mewakili Kepala Puslitbanghutan BLI KLHK, berharap upaya preventif seperti pembangunan bangunan Konservasi Tanah dan Air (KTA), penanaman vetiver, dan bidara laut dapat segera ditindaklanjuti dalam bentuk kolaborasi antar pihak-pihak terkait, untuk mendukung percepatan realisasi di lapangan, khususnya untuk daerah-daerah rawan longsor. (lhk)