Upaya Pemerintah Merampas Aset Koruptor Untuk Kesejahteraan Masyarakat

:


Oleh Ahmed Kurnia, Kamis, 29 April 2021 | 23:15 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 2K


Jakarta, InfoPublik – Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kini gencar menginisiasi upaya pemberantasan kejahatan ekonomi dengan membangun sistem perampasan aset terkait tindak pidana atau yang dikenal dengan non-conviction based (NCB) asset forfeiture, yang diadopsi dari ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Menurut Kepala PPATK Dian Ediana Rae, berdasarkan hasil pemantauan PPATK, diperoleh informasi, bahwa upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal, khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya. Termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.

Permasalahan itu, “Kita dapat atasi dengan penetapan RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana,” kata Dian yang disampaikan dalam acara Legal Forum yang diselenggarakan PPATK dengan tajuk “RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana, Pantaskah Masuk Prioritas?” di Jakarta, Kamis (29/4/2021).

Lebih jauh, Dian menjelaskan bahwa pemberantasan tindak pidana dengan motif ekonomi belum optimal karena Indonesia belum memiliki instrumen hukum memadai yang dapat memberikan efek jera atau deterrence effect kepada para pelaku kejahatan. “Maka upaya memiskinkan koruptor baru sebatas wacana dan belum dapat terealisasi dikarenakan pelaku kejahatan memanfaatkan keterbatasan regulasi mengenai penyelamatan aset (asset recovery) hasil tindak pidana (proceed of crimes),” katanya lagi.

RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana ini, menurut Dian, memuat 3 (tiga) substansi utama, yaitu unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset.

Salah satu upaya progresif dalam optimalisasi penyelamatan negara tesebut adalah ketentuan mengenai unexplained wealth, yaitu Pemerintah dapat melakukan perampasan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana.

‘’Dengan ditetapkannya RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana dapat membantu pengembalian kerugian negara baik yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang,’’ jelas sosok yang meraih gelar doktor Bidang Hukum Ekonomi dari Universitas Indonesia itu.

Saatnya Bertindak Responsif, Inisiatif, dan Progresif

Meningkatnya jumlah kasus tindak pidana dengan motif ekonomi, khususnya korupsi, narkotika, dan pencucian uang mengharuskan Pemerintah – termasuk para penegak hukum - untuk bertindak responsif, inisiatif, dan progresif dalam pemberantasannya.

Khusus dalam rangka penyelamatan aset negara yang berasal dari hasil tindak pidana maka Dian mengajak koordinasi dan sinergi seluruh pemangku kepentingan baik sektor publik maupun sektor privat untuk dapat lebih ditingkatkan. “Terlebih lagi dalam mengatasi situasi domestik dan global yang makin sulit dikarenakan situasi pandemi Covid-19 yang belum berakhir,” katanya lagi.

Kasus-kasus besar yang ditangani oleh PPATK, khususnya yang terkait dengan perekonomian dan keuangan, telah menunjukkan semakin pentingnya upaya untuk memperkuat integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan Indonesia melalui pendekatan sistemik, dengan menegakkan peraturan perundang- undangan, governance, dan etika di dalam menjalankan kegiatan perekonomian dan keuangan secara konsisten.

“Kami melihat inefisiensi terjadi di berbagai sektor ekonomi karena kurang baiknya governance ekonomi dan terjadinya praktik-praktik illegal yang tidak kentara – seperti shadow economy, black economy atau underground economy,” jelas Dian.

Presiden Jokowi: Tindak Pidana Korupsi Semakin Beragam dan Semakin Canggih

Langkah inisiasi PPATK ini merupakan tindak lanjut dari Rapat Koodinasi Tahunan TPPU dan TPPT 2021 yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu (14/01/2021) melalui daring di Jakarta. Ketika itu, Presiden meminta PPATK agar lebih banyak berperan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendananaan terorisme (TPPT). Hal ini, kata Presiden, tak terlepas dari perubahan jaman yang terus terjadi.

"Kami mengharapkan PPATK berperan lebih besar untuk mendukung pengembangan ekosistem keuangan yang kondusif bagi pembangunan nasional," kata Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi mengatakan PPATK seharusnya tak hanya cukup menjadi world class financial intelegence unit, tapi bisa berkontribusi lebih besar untuk membantu program-program pemerintah. Apalagi Presiden Jokowi mengatakan tindak pidana korupsi semakin beragam dan semakin canggih.

Presiden Jokowi mengingatkan bahwa pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme harus terus kita antisipasi. Kondisi yang menggangu stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan harus kita mitigasi.

"Seperti shadow economy, peningkatan kejahatan ekonomi, serta cyber crime, dan kejahatan lain yang memanfaatkan teknologi yang paling baru," katanya lagi.

Maka, seperti kata  Dian, PPATK akan memberikan perhatian khusus untuk menangani kegiatan shadow economy ini dengan bekerjasama dengan Lembaga dan kementerian terkait. Keberhasilan Indonesia didalam menangani persoalan shadow economy akan sangat berpengaruh kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehat, dan berkelanjutan, yang pada gilirannya akan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, serta menciptakan keadilan berusaha di berbagai sektor kegiatan ekonomi.

Salah satu upaya pemberantasan kejahatan ekonomi yang saat ini tengah digaungkan oleh Pemerintah, yang merupakan inisiasi PPATK adalah membangun sistem perampasan aset terkait tindak pidana atau yang dikenal dengan non-conviction based (NCB) asset forfeiture, yang diadopsi dari ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

“Yang dimaksud dengan Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana dalam RUU ini adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya,” jelas Dian.

Dian mengakui bahwa selama ini regulasi di Indonesia memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset (asset recovery) yang merupakan hasil tindak pidana. Belum adanya UU tentang asset recovery membuat pelaku kejahatan dan pencucian uang tidak jera dan jeri terhadap hukuman yang diterimanya karena yang bersangkutan masih dapat menikmati uang hasil kejahatannya setelah menjalani hukuman badan.

Dengan RUU Perampasan Aset maka Dian berharap instrumen hukum ini dapat digunakan untuk mengejar aset hasil kejahatan - bukan terhadap pelaku kejahatan. Dengan demikian, keberadaan RUU Perampasan Aset telah merubah paradigma dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist), bahkan yang paling mutakhir sekalipun, yakni rehabilitasi (rehabilitationist).

Kepala PPATK itu meyakini bahwa dengan ditetapkannya RUU Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana dapat membantu pengembalian kerugian negara baik yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya. “Upaya penegakan hukum kejahatan ekonomi tidak akan pernah tuntas tanpa menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan, yang hanya dapat dilakukan melalui penerapan pasal-pasal pencucian uang dan mekanisme pemulihan kerugian negara (asset recovery) yang efektif,’’ jelasnya.

 

Keterangan Foto: Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae (1/2/2021).(Dok. PPATK)